Search
Close this search box.
The-God-of-Small-Things_Berbagai-Nuansa-Kenyataan-yang-Dikemas-Indah-Sekaligus-Mencekam

The God of Small Things: Berbagai Nuansa Kenyataan yang Dikemas Indah Sekaligus Mencekam

Ditulis oleh ,

Yuk, bagikan artikel ini!

“Prosa menawan yang membawa kita ke dunia impian penuh gambaran mempesona, dan pada saat bersamaan memberi kesempatan pembacanya menyelami sifat manusia. Novel Arundhati Roy ini berhasil menempatkan diri di singgasana sastra magis-prismatik—kisah penuh keajaiban yang menyajikan berbagai nuansa.” (Publishers Weekly)

Terbit pertama kali pada 1997, novel The God of Small Things membuat nama penulisnya, Arundhati Roy, meroket di dunia sastra internasional. Novel ini langsung menyabet Booker Prize, penghargaan paling bergengsi untuk karya sastra berbahasa Inggris.

Yang menarik, Roy sendiri menjalani pendidikan formalnya di bidang arsitek, dan tidak pernah menganggap dirinya seorang pengarang novel. Bagaimanapun, novel yang digarapnya selama empat tahun dari 1992-1996 itu telah terjual jutaan eksemplar di seluruh dunia, dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 40 bahasa. Sungguh bukan prestasi remeh untuk seorang yang pertama kali menulis novel.  

Kisah novelnya sendiri berlokasi di Propinsi Kerala, India, di sebuah dusun bernama Ayemenem. Berseting waktu tahun 1969-1993, Roy dengan piawai menjalin kisah novel ini dengan membolak-balik waktu melalui kenangan dan angan-angan apa yang terjadi di masa depan.

Baca Juga: Srimulat yang Akan Selalu Dikenang

Baca Juga: Papillon, Buku VS Film

Tokoh utama The God of Small Things adalah sepasang kembar tidak identik, anak laki-laki bernama Estha dan saudara kembarnya yang perempuan, Rahel. Kisah diawali dengan kematian sepupu mereka yang berdarah setengah Inggris, Sophie Mol, akibat tenggelam saat naik perahu bersama kedua kembar. Dari titik tragedi itulah Roy kemudian merefleksikan isu-isu sosial politik di India, termasuk menyoroti strata sosial yang sangat ketat diberlakukan di negara itu. Meskipun Konstitusi India sejak 1949 melarang system kasta dan diskriminasi sosial, namun jelas sekali novel Roy menggambarkan beberapa aturan sosial yang masih berlaku dan harus dipatuhi seluruh masyarakat setempat. Aturan inilah yang kemudian memorak-perandakan kehidupan masa kecil Estha dan Rahel yang semula tampak sederhana, dan belakangan juga sangat menentukan bagaimana mereka tumbuh sebagai orang dewasa.

The God of Small Things juga mengungkap fenomena politik kelas, saat kalangan kelas bawah menumbangkan penguasa kelas atas—bagaimana ketakutan mencekam lahir dalam konflik semacam itu. Tentunya ini terkait dengan minat penulisnyajuga—Roy mendapat penghargaan Sydney Peace Prize 2004 untuk esai-esai politiknya. Yang pasti, meskipun banyak aspek dan nuansa yang dipaparkan dalam novel ini, namun Roy menulis dengan begitu indah sehingga pengalaman membaca The God of Small Things menjadi sebuah perjalanan yang mengesankan—bahkan di saat-saat kisah pilu para pelakonnya mencabik-cabik hati pembaca. [png]