Search
Close this search box.
Kisah-Hidup-Morrigan-Crow

Srimulat yang Akan Selalu Dikenang

Ditulis oleh ,

Yuk, bagikan artikel ini!

Oleh: Truly Rudiono

Untung ada saya!

Kalimat tersebut cukup akrab dengan kita. Bahkan mereka yang sering disebut dengan kid zaman now juga sering mengucapkan kalimat tersebut dengan gaya kekinian, “Untung ada gue!” Mungkin hanya sedikit yang ingat asal muasal kalimat legendaris tersebut. Kalimat yang berasal dari dialog salah seorang anggota Srimulat, Gepeng. Kalau saya tidak salah ingat, itu juga judul film Gapeng bersama Jujuk. Jika tertarik mendengarkan versi siaran radio ada  di sini.

Buku tipis tapi kaya nostalgia ini berisikan mengenai perjalanan Srimulat. Dari Srimulat sebagai nama  sosok seorang seniwati yang terkenal, hingga menjadi nama sebuah grup. Pembaca akan menemukan banyak hal yang mampu membuka ingatan pada masa kejayaan group ini. Plus terdapat beberapa lawakan dan naskah (entah sebaiknya disebut apa-tapi saya anggap saja naskah) yang pernah dipentaskan.

Raden Ayu Sri Mulat sejak kecil sudah menyukai aneka kesenian. Ia bahkan piawai menari dan nyinden. Bersama suaminya, Teguh Slamet Rahardjo, pada tahun 1951 mereka mendirikan kelompok kesenian keliling dengan nama Gema Malam Srimulat.

Meski bisa dikatakan sudah meraih kesuksesan, Teguh selalu  berusaha melalukan inovasi agar bisa menampilkan sesuatu yang membuat penonton ingin selalu kembali melihat pertunjukan mereka. Maka tak heran jika sosoknya juga kerap terlihat duduk di bangku penonton untuk mendapatkan bahan evaluasi.  Perlahan, Teguh mulai melirik unsur komedi dengan pertimbangan setiap orang pelepas ketegangan, dan cara yang paling mudah adalah dengan tertawa.

Perenungannya cukup mendalam, seperti yang tertera di halaman 101.  “Pertanyaannya adalah: apa yang membuat sesuatu itu lucu?  Mengapa orang terdorong untuk tertawa ketika mengalami-melihat, mendengar, merasakan sesuatu?” Aneka observasi dilakulan Teguh terhadap aneka.hiburan yang mengusung tema humor. Dari dagelan Mataram, Ludruk, punakawan dalam wayang, hingga menonton film Charlie Chaplin.

Setiap pemain Srimulat harus memiliki ciri khusus untuk mendukung pementasan. Ciri tersebut bisa berupa gerakan tubuh atau kalimat lucu. Kalimat, “Hil yang Mustahal!”  sering diucapkan oleh Asmuni ketika berada di atas panggung Srimulat. Entah kenapa, jika yang mengucapkan pemain lain sepertinya kurang greget, tapi begitu Asmuni menucapkan kalimat tersebut langsung penonton tertawa. Seakan kalimat tersebut hanya cocok diucapkan oleh Asmuni. Padahal bukan Asmuni yang menciptakan kalimat tersebut. Kalimat tersebut bisa dikatakan sebagai ciri khas seorang Asmuni.

Salah satu produsen obat tradisional sampai menjadikan Basuki dan kalimat Wes-ewes-ewes sebagai bagian dari promosi mereka. Kalimat Basuki yang terkenal tersebut diubah menjadi Wes-ewes-ewes  babalas angine. Kalimat langsung membuat pendengarnya teringat jamu tradisional yang dibuat ala moderen dengan manfaat untuk mengusir masuk angin.

Ciri khas tersebut ternyata juga bisa menyebabkan bencana bagi sosok Tessy alias Kabul. Ketika televisi mengeluarkan kebijakan untuk melarang penampilan laki-laki dengan gaya kewanitaan, maka bisa dikatakan karier Kabul sebagai Tessy tamat sudah. Kejayaannya sebagai jago pengocok perut langsung pudar. Hingga sempat membuat sebuah kasus yang cukup ramai dibicarakan masyarakat.

Saya ingat betul, setelah nyaris setengah pementasan berjalan, primadona Srimulat yaitu Jujuk akan muncul dengan dandanan khasnya. Sanggul lebar dengan sasak tinggi, menggunakan kain dan kebaya yang bisa dikategorikan super singset. Kesan yang saya peroleh saat itu, betapa sulitnya ia.bernapas dan berjalan. Tapi itulah ciri khas Jujuk, tampil dengan bling-bling. Sering waktu, saya jadi paham jika Jujuk muncul maka sebentar lagi pertunjukan akan selesai.

Perpaduan antara pertunjukan musik dan lawak, serta bumbu  keunikaan dari tiap anggotanya kemudian menjadi ciri khas bagi  kelompok ini. Penulis menyebutnya sebagai Srimulatism.  Ciri yang susah untuk ditiru. Meski beberapa pelawan mencoba meniru tetap saja efek yang disampaikan akan berbeda dengan yang dihasilkan oleh anggota Srimulat.

Baca Juga: Papillon, Buku VS Film

Baca Juga: Jack Ma dan Hal Nyentrik yang Tak Mungkin Dilakukan Pebisnis Lainnya

Belakangan, kelompok ini berubah menjadi pertunjukan Aneka Ria Srimulat. Bisa dikatakan Ciri khas Aneka Ria Srimulat adalah adanya  pemain yang berperan  sebagai  pembantu rumah tangga dengan lap disampirkan pada bahu sebagai pembuka. Pemain tersebut akan memberikan semacam pengenalan mengenai siapa dirinya, dan kepada siapa ia bekerja. Kadang ada dua sosok yang menjadi pembuka.

Lalu ciri lain adanya dua pintu di panggung. Satu untuk keluar-masuk mereka yang dianggap tinggal di sana,  misalnya tuan rumah, nyonya rumah dan lainnya. Sedangkan pintu satu lagi untuk keluar-masuk pemain yang bukan tinggal di sana. Jadi panggung diumpamakan sebuah ruang dalam rumah.

Satu hal yang bisa dianggap istimewa adalah para anggota Srimulat selalu bermain dengan improvisasi. Teguh selaku sutradara hanya memberikan pakem cerita. Butuh kreativitas tingkat tinggi untuk dapat  menciptakan kelucuan yang aneh dan keanehan yang lucu, yang mengalir secara spontan tentunya.

Dan pastinya jiwa besar untuk berbagi panggung. Tak ada pemaian yang mendominasi panggung. Mereka sangat kompak. Jika ada yang sedang beradu lelucon, maka yang lain harus sabar menunggu waktu yang tepat untuk ikutan mengeluaran banyolan. Memotong lemparan humor yang sedang dilakukan oleh pemain lain pantang hukumnya.

Oh ya, walau diberikan kebebasan tapi para pemain memiliki aturan  yang tetap harus dituruti. Mereka harus memegang prinsip Mikul Dhuwur, Mendhem Jero. Lalu harus menghormati dan memelihara akar, sadar diri, dan menghormati pemain wanita dengan tidak melakukan tindakan yang tak terpuji. Terpenting, mereka harus ingat bahwa puncak humor adalah menertawakan diri sendiri.

Saya lupa sekitar tahun berapa, saat itu Srimulat muncul seminggu sekali di layar kaca. Guna mendongkrak rating, mereka menampilkan bintang tamu dari kalangan selebriti. Biasanya nama tokoh juga sama dengan nama asli bintang tamu. Dan sepertinya para selebriti tersebut menikmati peran yang mereka mainkan. Menjadi bintang tamu di panggung Srimulat seakan menaikkan “kelas keahlian” mereka.

Ternyata belum lama ini salah satu televisi swasta mengangkat tema Srimulat dalam acara Q & A – Srimulat, Riwayatmu Kini?

Hampir semua pencinta Srimulat sangat hafal lagu pembuka. Biasanya lagu diputar bersama dengan nama pemain. Pastinya selain saya, banyak yang mengira bahwa lagu itu khusus diciptakan untuk kelompok Srimulat. Kelak saya tahu bahwa  lagu tersebut sebenarnya berjudul  “Whiskey And Soda” dibawakan oleh Roberto Delgado and His Orchestra yang sangat kental dengan irama Musik Rasta.

Walau  bisa dikatakan sebagai pelipur lara kenangan masa lalu, namun banyak juga yang tidak diungkapkan dalam buku ini. Misalnya bagaimana Teguh menentukan siapa menjadi apa dalam tiap pementasan. Pembagian peran diantara mereka seperti apa, bagaimana pemilihan kisah, bahkan kenapa lagu “Whiskey And Soda” yang dipilih.

Pemilihan judul buku ini membuat saya tercenung. Apakah yang menyebabkan sampai penulis mencantumkan kalimat bahwa negara kita perlu diselamatkan? Tapi saya teringat salah satu bagian dari buku ini yang menyatakan bahwa aneh itu lucu, lucu itu aneh. Jadi…. ^_^ begitulah pahami sendiri ya.

Sepertinya tak ada kelompok yang mampu menyaingi ketenaran Srimulat. Bahkan ketika kelompok tersebut sudah bubar, anggotanya masih bisa dikatakan eksis dalam dunia hiburan. Sungguh tepat jika mengatakan membicarakan tentang dunia lawak kita maka tak akan lepas dari membicarakan Srimulat.

Sekedar iseng, mari kita renungkan kalimat Teguh Srimulat dalam buku ini. Tepatnya ada di halaman 166, “Segala sesuatu dapat dikomedikan. Masalahnya adalah tega atau tidak, tepat atau tidak.” []

Sumber: http://trulyrudiono.blogspot.com