Belajar Kemanusiaan dan Keberagamaan dari Buku Habib Ali al-Jufri

Ditulis oleh Faisal Javier Anwar, Penulis Lepas

Yuk, bagikan artikel ini!

Keberagamaan seringkali dibenturkan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Padahal bagi Habib Ali al-Jufri, keberagamaan seharusnya tidak dapat dilepaskan dari kemanusiaan seperti yang ia tulis pada bukunya al-Insaniyyah qabl at-Tadayyun, yang dicetak dalam versi Bahasa Indonesia dengan judul Kemanusiaan Sebelum Keberagamaan. Artikel berikut merupakan hasil dari talkshow yang membahas buku tersebut.

Maman Suherman masih ingat betul pengalamannya tiga dekade lalu ketika masih menjadi seorang mahasiswa jurusan Kriminologi. Menjelang ujian skripsi, ia perlu melakukan penelitian lapangan. Pilihan jatuh pada kelompok sindikat perdagangan manusia sebagai objek penelitiannya, dan ia kemudian menyamar agar dapat bergabung dunia yang ia sebut “kerak neraka” tersebut.

“Saya sengaja jadi sopir di situ selama dua tahun tanpa ketahuan dan mengantarkan lima belas perempuan yang diperdagangkan selama dua tahun dan tiga belas di antaranya terbunuh di depan mata saya,” ujar pria yang akrab disapa Kang Maman tersebut.

Dua perempuan yang masih bertahan hidup tersebut bagi penulis buku Hidup Kadang Begitu tersebut adalah guru spiritualnya. Salah seorang dari dua perempuan tersebut kemudian menjalin hubungan akrab dengan Maman.

“Seseorang yang mungkin tidak pernah diliirik orang karena statusnya sebagai PSK, walaupun dia dijerat bukan (atas) maunya, dan tidak pernah mengeluh tentang nasibnya dan tidak pernah menyalahkan Tuhan sama sekali. Saya yang masih kuliah masih banyak mengeluhnya,” cerita Maman.

Maman masih mengingat prinsip hidup yang dijalani si perempuan yang malang tersebut. “Hanya karena satu yang dia lihat, bahwa ‘Apa yang saya alami buy testo enane 10 hari ini ya harus saya jalani, terserah orang menganggap apa, yang penting saya tetap menjaga satu amanah yang diberikan Tuhan pada saya yaitu anak saya. Kalau saya sudah menjaga amanah saya, yang lain tidak ada artinya,’” cerita Maman mengulangi perkataan perempuan tersebut pada tiga dekade lalu.

Baca juga: Karena Tuhan Memang Begitu

Menjelang ujian skripsi,Maman akhirnya membuka identitas sebenarnya pada perempuan tersebut. Yang terjadi kemudian justru perempuan tersebut bertanya apakah ia juga bisa hadir pada sidang ujian skripsi Maman. Maman pun menyilahkannya untuk hadir. Perempuan tersebut yang merasa canggung dengan jawaban Maman bertanya mengapa Maman tidak malu menyilahkannya hadir.

“Saya bilang, ‘Saya melihat kamu sebagai seorang ibu yang menjalankan amanah,’ yang seperti dikatakan Pak Lukman (Lukman Hakim Saefudin, mantan Menteri Agama). ‘Sisi ketuhanan di dalam diri kamu yang menjaga anak yang kamu punya kesempatan menggugurkannya tapi kamu yang bilang yang berdosa saya bukan anak itu,’” ceritanya.

Perempuan tersebut yang mendengar jawaban Maman pun langsung menganggap kampus Maman saat itu, Universitas Indonesia, sebagai  tempat mulia.  Ini dikarenakan ia ditolak masuk tempat ibadah di dekat rumahnya lantaran pekerjaannya. “Dia tidak boleh menginjak masjid samping tempat tinggalnya hanya karena dia ketahuan (pekerjaannya) PSK saat itu. Sehingga buat dia tempat yang mulia saat itu adalah Universitas Indonesia,” jelas Maman.

Tapi perempuan itu tidak pernah hadir di tempat yang dianggapnya mulia tersebut. Maman mengetahui perempuan itu menjadi korban pembunuhan setelah membaca sebuah berita dari koran yang Maman beli di pinggir jalan. Maman teringat momen pertemuan terakhirnya dengan perempuan itu sebelum mendengar kabar ia tewas. Perempuan itu menitipkan uang sebesar 5.750.000 rupiah untuk anaknya yang diasuh oleh orang lain.

“Ketika saya bilang, ‘Betapa bahagianya ya kamu, hari ini sudah bisa lepas dengan uang 5.750.000,’ dia bilang, ‘Tidak, saya ini sudah mati dalam hidup sejak lama. Tapi ada satu yang ingin saya lanjutkan.’ … ‘Saya ingin menyogok Tuhan saya,’” kenang Maman.

Baca juga: Peran Terlupakan Golongan Islam dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia

Ia pun bertanya-tanya dengan maksud kalimat “menyogok Tuhan” yang dikatakan perempuan itu. Perempuan itu lantas menjawab, “‘Saya mungkin tidak punya agama yang baik tapi saya masih ingat ajarannya ibu saya bahwa ketika saya sudah meninggal hanya ada tiga pahala saya yang masih berlanjut: doa anak saleh, sedekah jariyah, dan ilmu bermanfaat. Titip uang ini untuk anak itu sekolah biar dia bisa sekolah dan insyaallah walaupun saya dipanggil Tante, dia tahu dan dia pasti jadi orang baik dan setiap langkah baiknya ada sumbangsih dari uang saya ini. Dan ini cara saya untuk menyogok Tuhan semoga dia masih bisa melihat saya.’”

Kisah di atas merupakan sebuah kisah yang kelak menjadi latar belakang novel yang ditulisnya. Menurut Maman, anak dari perempuan itu kini telah bergelar doktor, dan tanpa sepengetahuan dirinya, anak tersebut mengetahui jika perempuan yang memberinya uang untuk bersekolah itu adalah ibunya sendiri dan ia mengetahui ibunya pelacur. Anak tersebut juga akhirnya menemukan makam ibunya yang pernah ia panggil Tante ketika ia masih kecil.

“Dia (anak si perempuan) bilang bahwa, ‘Nilai keagamaan yang ada pada diri saya mengajarkan betapa luas ampunan Tuhan dibanding murka Tuhan. Mudah-mudahan apa yang saya lakukan (doa) bisa terkirim untuk ibu saya,’” cerita Maman.

***

Kisah Maman di atas seakan menjadi gambaran bahwa kemanusiaan tidak terlepas dari praktik-praktik keagamaan. Maman tidak sekalipun menganggap rendah si pelacur, bahkan ia belajar banyak soal nilai-nilai ketuhanan dari si pelacur. Begitu pula dengan si pelacur, yang  tetap membiarkan bayinya dari hubungan tidak sah hidup, dan menyekolahkannya, meski pada akhirnya si pelacur tidak memiliki umur panjang untuk melihat sang anak sukses.  Ketika membaca buku Kemanusiaan Sebelum Keberagamaan, Maman teringat kembali akan kisahnya di atas tersebut dan merasa bersyukur akan pilihan yang ia ambil ketika itu.

“Mungkin kalaupun saat itu saya adalah orang yang betul-betul menganggap dia sebagai PSK dan menertawai kalimat dia yang menyogok Tuhan apa yang terjadi? Mungkin tidak seperti yang saya rasakan hari ini betapa bahagia melihat anak tersebut membanggakan betul tentang ibunya dan mengirimkan doa setiap saat kepada ibunya,” kata pria yang pernah menjadi Pemimpin Redaksi Kelompok Kompas Gramedia itu.

Menurut Menteri Agama periode 2014-2019 Lukman Hakim Saifuddin, nilai-nilai kemanusiaan tidaklah bertentangan dengan agama. Penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan merupakan bagian dari penghormatan terhadap Tuhan.

“… kita semua meyakini dalam diri manusia ada bagian yang Tuhan titipkan pada diri kita. Itulah mengapa setiap agama, Islam khususnya sangat menghormati (dan) memuliakan manusia. Tidak hanya karena dia sesama saudara kita—sesama makhluk (dan) sesama manusia, tapi justru bentuk penghormaan kita kepada manusia itu secara langsung maupun tidak langsung (merupakan)  bentuk takzim kita (yakni) penghormatan pemuliaan kita kepada Allah SWT karena dalam diri manusia ada bagian yang Tuhan titipkan,” jelas Lukman.

Baca juga: Tentang Kelahiran Nabi Muhammad 

Menurut Lukman, tidak ada dikotomi pilihan “kemanusiaan atau keberagamaan”. Agama dan kemanusiaan merupakan dua hal yang tidak bisa dilepaskan satu dengan yang lainnya.

“Justru agama itu kita persepsikan, kita pahami, (dan) kita amalkan justru dalam rangka untuk kemanusiaan, karena memang agama hadir untuk itu,” kata Lukman. “Atau sebaliknya justru kemanusiaan kita lah yang memerlukan agama sebagai panduan agar nilai-nilai kemanusiaan tidak tercerabut dari jati diri manusia,” lanjutnya.

Agama Tidak Menolak Perbedaan

Ketika membaca salah satu bab dalam, buku ini, Maman merefleksikannya pada berbagai konflik yang timbul akibat adanya perbedaan. Rasa curiga berlebihan yang timbul akibat perbedaan identitas membuat satu pihak merasa dirinya lebih tinggi derajatnya dari pihak lain yang berbeda, dan berakhir pada peperangan, padahal seharusnya bukan mereka yang berbeda yang harus diperangi.

“Itu sebenarnya jadi yang harus kita perangi adalah hawa nafsu kita dan selalu menganggap diri kita lebih dari yang lain dan semua yang berbeda adalah musuh. Pernah enggak semua yang ada di sini punya agenda bahwa perlawanan yang pertama harus kita bangun adalah terhadap diri kita sendiri dulu? Ini yang dimunculkan Habib (Ali al-Jufri) di buku ini,” jelas Maman.

Menurut Lukman, penyebab lainnya dari konflik-konflik tersebut ialah anggapan bahwa semua yang ada di dunia perlu diseragamkan. Padahal perbedaan justru sengaja diciptakan oleh Tuhan.

“… dalam beberapa ayat Alquran banyak (terdapat) ayat-ayat mengatakan bahwa kalau saja Tuhan mau, mudah saja bagi Tuhan untuk menjadikan semua umat manusia di dunia ini ‘Ummatan Wahidatan’(yaitu) umat yang satu, umat yang seragam, umat yang homogen,” jelas pria yang menjadi Menteri Agama di bawah dua presiden yang berbeda itu.

“… tapi Tuhan tidak lakukan itu, Tuhan ciptakan keragaman agar kehidupan ini berjalan, agar ada ujian, lalu manusia menjalani kehidupannya ujiannya sehingga masing-masing di antara mereka bisa naik kelas karena hanya orang-orang yang lulus menghadapi ujian yang naik kelas, derajatnya naik atau diangkat oleh Tuhan,” lanjutnya.

Baca juga: Deretan Novel Ini Harus Kamu Baca Setidaknya Sekali dalam Seumur Hidup!

Namun tidak dapat dipungkiri jika tafsir agama yang mengedepankan kemanusiaan terlihat rumit, sehingga seringkali diabaikan. Bagi Lukman, itu tidak terlepas dari keterbatasan yang dimiliki manusia, dan oleh sebab itu agama hadir untuk mencegah potensi negatif dari manusia.

“Jadi kalau dalam tasawuf ada konsepsi manusia itu tidak hanya terdiri dari nasut, hal-hal yg sifatnya kemanusiaan, di mana manusia itu ada kecenderungan untuk senang dengan hal-hal yang melalaikan; yang menggampangkan; dan hal-hal lain yang cenderung pada kemaksiatan, tapi dalam diri manusia juga ada lahut, (yakni) nilai-nilai ketuhanan,” kata Lukman.

“Maka lalu agama hadir dalam rangka agar manusia bisa terjaga terpelihara dari potensi negatifnya.  Itulah kenapa agama diperlukan,” lanjutnya. (fja)

 

Video: