Sebelum saya menuliskan lebih lanjut resensi buku ini, saya ingin mengucapkan permintaan maaf saya kepada seseorang yaitu tentang sifat kepo maniak yang melebihi para stalker. Tidak. Saya tidak ingin melakukan hal buruk apapun kepada Anda. Yang saya inginkan hanya satu: mengucapkan permintaan maaf atas tindakan konyol yang pernah saya lakukan kepada Anda beberapa waktu lalu. Tindakan konyol itu sebenarnya ada hubungan dengan tulisan ini.
Baru-baru ini, saya membeli sebuah buku berjudul Hello Goodbye, yang ditulis oleh seorang komikus, desainer grafis, dan selebgram (sekaligus selebtwit) terkenal: Ditta Amelia Saraswati a.k.a. Helloditta. Buku ini merupakan rilisan ulang dari buku berjudul sama (Ditta Amelia Saraswati, 2017). Sebelumnya, buku ini dicetak secara self publish.
Pada buku ini, Ditta menuliskan beberapa puisi dan prosa dengan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia (Anda tahu kan, target market yang ingin dituju ?). Salah satu hal yang merupakan faktor resonansi (kesamaan frekuensi) saya dengan sang penulis adalah kesukaannya akan The Smiths. Ada satu prosa yang terinspirasi lagu The Smiths yaitu “There is a light That Never Goes Out”. Di dalam lagu “There is a Light that Never Goes Out”, Morrissey (vokalis sekaligus penulis lagu-lagu The Smiths) menulis, ada dua orang tokoh di mana salah satu tokoh minta diantarkan di dalam mobil untuk keluar dari permasalahan yang ada di rumah salah satu tokoh karena ia merasa tidak dianggap di sana.
Ditta berhasil menerjemahkan lagu tersebut menjadi prosa berbentuk deskripsi yang secara lugas mengena terhadap lirik lagu tersebut. Prosa tersebut berjudul Late Night. Pada prosa tersebut, ia menceritakan seorang perempuan muda yang minta jalan-jalan tengah malam (jaywalking) dengan mobil oleh teman cowoknya ke restoran cepat saji 24 jam. Ia meminta demikian karena tidak tahan dengan pertengkaran orangtuanya di rumah yang akan berujung ke perceraian. Yang kurang dari prosa ini adalah mengenai dimasukkannya unsur lirik “And If a Double Decker Bus, Crashes Into Us”. Entah kenapa. Mungkin karena setelah era Reformasi, bus tingkat sudah jarang ditemui di Indonesia atau Ditta tidak ingin memasukkan sesuatu yang tragis di dalam cerita ini.
Baca Juga: Ditta Amelia, Penulis Sekaligus Ilustrator Buku Hello Goodbye
Mengenai unsur tragedi yang antiklimaks, Ditta juga menuliskannya dalam cerita berjudul Kereta Pagi. Dikisahkan seorang lelaki yang rutin menggunakan KRL (commuter line) sebagai sarana moda transportasi, sering bertemu dengan seorang cewek yang juga menggunakan moda rute serupa tetapi berbeda arah dan platform (tempat menunggu kereta berhenti). Fenomena ini disebut juga sebagai randomencounter. Setiap hari ia selalu melihat sang perempuan berdiri di platform seberang dengan harapan suatu hari bisa bertemu untuk menyapa dan saling mengenal satu sama lain. Sayang, suatu hari sang perempuan terlihat bertemu dengan seorang lelaki yang mungkin baru saja ia kenal. Lewat cerita tersebut, Ditta secara tidak langsung ingin memberi pesan tentang seize the moment. Pesan yang sederhana tapi dikemas dalam cerita yang cukup menegangkan.
Selain itu, Ditta menulis kisah sesuatu yang berakhir kontras. Ia menulis puisi yang bertema sama dengan judul “Paradoks” (sebenarnya, puisi ini tidak bernama, tapi puisi ini dicetak satu halaman di belakang bab yang diberi nama “paradoks”). Puisi ini unik karena Ditta menuliskan beberapa hal yang berlawanan satu sama lain. Antara baik dan buruk serta antara keindahan serta kejelekan. Ia mengawinkan kedua kata ini menjadi satu puisi yang berujung pada satu hal: keharmonisan.
Buku ini secara keseluruhan saya beri nilai 8,5 dari 10. Ditta pada akhirnya telah berhasil menerjemahkan beberapa cerita yang sederhana ini menjadi cerita yang sangat berkesan kepada para pembacanya.
Oh ya, saya sempat mendengarkan streaming wawancara dengan Ditta di Radio Trijaya FM Jakarta, beberapa waktu lalu. Dia sendiri mengakui bahwa beberapa bagian dari buku ini terinspirasi pengalaman pribadi dan pengalaman teman-teman dekatnya. Dari podcast tersebut, dia membocorkan sedikit sisi narsis yang ia miliki melalui jumlah cerita dan segmen yang ia bagi di dalam buku sebelumnya. Sisi narsis tersebut adalah tanggal ulang tahun dirinya. Jadi semacam easter egg tersendiri bagi pembaca yang menyadarinya. Jadi berpikir, apakah Ditta ini juga bisa seperti Taylor Swift versi Indonesia di mana kesamaannya adalah memiliki level narsis yang bisa menaklukkan beberapa lelaki dan pintar menuliskan sesuatu yang memiliki nilai maut? 😉
Sumber: https://radiopumpkins.blogspot.com/2018/12/review-buku-hello-goodbye-by-hello-ditta.html
Baca Juga: Seorang Gadis Kecil, Buku, dan Menulis: Kisah di Balik Hello Goodbye