Saya akan selalu ingat siang itu. Sambil menangis menceritakan pada Ibu tugas prakarya yang diberikan di sekolah, membayangkan–jangankan membuatnya, mencari bahannya saja tak tergambarkan oleh otak kecil saya.
Guru saya di kelas empat SD itu meminta kami membuat kemoceng dari bulu ayam. Dia juga menjelaskan, kemoceng bulu ayam terbaik adalah yang dibuat dari bulu-bulu ayam jago. Bulu ekor yang panjang dan indah itu dipasang di bagian ujung kemoceng, menyusul bulu-bulu yang sedang, lebih pendek, dan lalu lebih pendek lagi. Bulu ayam betina hanya boleh sedikit dipakai di bagian pangkal kemoceng, itu pun kalau terpaksa tak ada lagi bulu ayam jago yang tersisa.
Kalau sekarang saya bisa mengapresiasi keagungan seni membuat kemoceng bulu ayam, tidak demikian halnya saat itu. Saya sangat kesal mengapa membuat kemoceng harus dari bulu ayam. Kan bisa dari tali rafia. Sebagai anak pindahan dari “sekolah-kota” yang prakaryanya sering sekadar origami dan tempel-menempel kertas, nyali saya dibuat ciut dengan prakarya “sekolah-desa” yang baru ini.
Baca juga: Dari Pembaca Ayah Edy untuk Yayasan Dokter Peduli
Tapi Ibu berkata, “Coba saja ke pasar dan tanya ke tukang-tukang soto, mungkin dia punya sisa bulu ayam,” menambah keras tangis saya. Pasar yang disebut Ibu itu 3 km jaraknya dari rumah dan pada masa itu tidak ada angkodes seperti sekarang. Saya belum bisa naik sepeda di jalanan umum. Belum lagi membayangkan berkeliling dari pintu warung soto yang satu ke warung soto yang lain. Membayangkan mulut saya kelu tak tahu bicara apa pada para tukang soto. Kadang setelah dewasa saya bertanya-tanya, jangan-jangan dengan saran-saran beratnya itu Ibu hanya mencandai saya.
Tapi ibu juga berkata, “Menangis itu nggak akan selesaikan masalah,” dan makin keraslah raungan tangis, meski masih mendengar beliau menambahkan, “Orang nggak boleh putus asa selama dia masih bisa bernafas.”
Saya tak ingat lagi bagaimana akhirnya mendapatkan bulu ayam untuk prakarya itu, yang masih menempel di benak adalah kegagalan membuat kemoceng terbaik, karena saya sama sekali tak mendapatkan bulu ayam jantan.
Yang juga lekat di benak saya, bahkan sampai kini, adalah dua kalimat yang diucapkan Ibu. Saya bahkan ingat menuliskannya di buku harian saat SMP. Mungkin karena kalimat-kalimat itu mulai masuk akal bagi otak saya yang akhirnya berkembang juga. Sejak itu pula saya sering mengumpulkan kalimat-kalimat “menyenangkan” seperti itu, yang bisa saya tulis di buku harian, atau sekadar saya stabilo langsung di bacaan tempatnya ditemukan. Quran mungil keluaran Departemen Agama, Quran pertama yang saya beli sendiri saat SMA, penuh dengan stabilo-stabilo seperti itu. Quran yang bahkan saya jilidkan ulang demi membuatnya tetap utuh–walau akhirnya Quran itu hilang entah ke mana setelah dipinjam seseorang.
Baca juga: Fahruddin Faiz, Penceramah Ngaji Filsafat: “Saya Masuk Filsafat Seperti Orang Tersesat”
Mencatat nasihat Ibu, ayat-ayat Quran, hadis Rasulullah Saw. ataupun juga kalimat-kalimat tokoh besar–salah satu yang sangat melekat di benak dari Bunda Teresa, “Berbuat baiklah sampai perbuatan baik menyakitimu,” menjadi kesenangan tersendiri bagi saya. Semacam diari, kalimat-kalimat itu kadang menyimpan visualisasi peristiwa yang saya alami saat mencatatnya, atau juga suasana emosi tertentu yang tak jarang terulang. Kalimat-kalimat itu selalu bisa menjadi penyemangat, atau sekadar penghiburan di kala sedih. Pun pengingat untuk tidak mengulang kesalahan–pada akhirnya, kumpulan catatan itu seolah menjadi dokumentasi berbagai tonggak dalam kehidupan kita dan, terutama, berbagai milestone perubahan atau perkembangan dalam cara kita memandang dunia.
Itulah yang saya pikirkan saat menerima manuskrip Catatan Untuk Diriku: Ihwal Hidup, Cinta, dan Bahagia, kumpulan perenungan karya Mas Haidar Bagir. Membayangkan menerima paket catatan hidup dari seorang pemikir, pebisnis, filantropis, dan juga pengajar tasawuf yang saya hormati ini tentu sebuah kesempatan yang tak boleh dilewatkan begitu saja.
Baca juga: Belajar Kemanusiaan dan Keberagamaan dari Buku Habib Ali al-Jufri
Dan benar saja. Di dalamnya saya temukan penghiburan–“Kesedihan itu sebenarnya undangan Allah agar kita datang kepada-Nya,” Ajaran-ajaran kerendahan hati–“Kita ini non faktor! (di hadapan kuasaNya),”– terus terang saya seperti dibanting membaca ini; latihan bahagia–“Ingat dan syukuri nikmat yang kamu terima setiap hari, karena di situlah kunci kebahagiaanmu.”
Dan masih banyak lagi nasihat yang barangkali bagi Mas Haidar adalah catatan pribadi, namun beresonansi dengan pengalaman saya sendiri atau siapa pun yang membacanya. Setidaknya hal itulah yang dirasakan penyusunnya, Mas Deni Ramdani, yang mengakui bahwa catatan-catatan Mas Haidar menyemangatinya saat harus mengurus ibundanya yang sakit berkepanjangan. Catatan Mas Haidar telah menguatkannya untuk memastikan bakti pada perempuan yang melahirkannya. Apa lagi yang lebih berharga dari itu? [ ]