Setiap orang pasti punya kecenderungan untuk melampiaskan hasrat. Dan bagi sastrawan Budi Darma, anggapan itu dibenarkan dengan membumbui karakter dalam cerita-ceritanya memakai teori psikoanalisis Sigmund Freud.
Bacalah cerita pertama di kumpulan cerita pendek Orang-orang Bloomington. Ikuti segala kemauan tokoh saya beserta kecerewetan nyonya-nyonya di sekitar saya. Simak baik-baik ketika tokoh lelaki tua tanpa nama mulai diceritakan—berkali-kali. Selesai terbaca, tebaklah: siapa yang karakternya tidak aneh? Nihil.
Karakter-karakter nyentrik yang diciptakan Budi Darma itu tidak serta merta ditampilkan sebagai daya tarik pembaca belaka. Budi Darma selalu memulainya dari teori psikoanalisis Sigmund Freud. Teori masyhur di dunia psikologi itu menggagas komponen id, superego, dan ego.
Id, dalam bahasa Inggris, disebut sebagai pleasure principle. Secara tidak langsung, id adalah wakil dari alam tidak sadar manusia. Sifatnya cenderung primitif, amoral, dan tidak logis. Dalam cerita yang ditulis Budi Darma, tokoh yang komplit mewakili elemen id adalah Rafilus—sekaligus menjadi judul novel. Baca saja kalimat pembuka yang keterlaluan asyiknya berikut:
“Rafilus telah mati dua kali. Kemarin dia mati. Hari ini, tanpa pernah hidup kembali, dia mati lagi.”
Bentuk lampias id Rafilus tersebut menjadi bukti bahwa id tidak hanya soal marah, seks, kelahi, dendam, atau kegiatan yang mengerahkan segala energi yang manusia punya. Sederhananya, Rafilus mencurahkan id-nya melalui mati dua kali.
Baca juga: Menjadi Manusia dengan Sastra Untuk Millenial
Demi mengontrol id karakter, perlu ada elemen superego. Sederhananya, manusia maupun tokoh-tokoh rekaan itu tetap memiliki pedoman bersikap dan berperilaku. Bila superego ini sama sekali tidak disisipkan, boleh jadi, tokoh yang diciptakan cenderung berbuat sembarangan, tidak kuat, dan ia mudah dilupakan para pembaca.
Sebagai umpama, tokoh yang dilabeli Budi Darma dengan sebutan ‘nyonya’ kerap menerbitkan kedongkolan kepada tokoh-tokoh utamanya. Namun, para nyonya itu tetaplah manusia yang ber-superego. Mereka masih punya pedoman. Dalam cerita Joshua Karabish, Ny. Seifert, wanita penyewa kamar yang mewanti-wanti agar tokoh saya tidak bergaul dengan Joshua, akhirnya memaklumi Joshua yang menunggak sewa kamar. “Saya tidak sampai hati menagihnya, dan saya tidak suka mengatakannya kepadamu dulu,” katanya.
Baca juga: Budi Darma, Sastrawan yang Tak Bisa Menulis Kisah Manis
Elemen id dan superego tidak akan berseteru dengan kehadiran elemen ego pada tiap manusia. Dengan ego-lah, manusia mampu berhadapan dengan realitas yang ada. Ego, sebagai wakil dari alam sadar manusia, menyederhanakan kehendak dari id yang bergejolak dan superego yang acap mengontrol kita secara berlebihan.
Pada akhir cerita Keluarga M yang ditulis Budi Darma, tokoh saya telah mengetahui beberapa fakta: ia tidak pernah lagi melihat keluarga Meek, Melvin yang mendapat pekerjaan yang jauh lebih baik, Jerry pindah apartemen, manajer gedung yang pindah, dan keluarga lain yang datang dan pergi. Meski tokoh saya sudah tidak bisa lagi mengamati perilaku Keluarga M, ia harus melanjutkan hidupnya dengan bekal ego yang ada pada mentalnya. Kendali atas saya dituliskan sebagai kalimat penutup cerita itu:
Dan saya tetap di sini, tetap sendiri.
Buat kamu yang ingin menulis cerita-cerita unik yang bisa menorehkan rasa kagum di mata pembaca, bekalilah tokoh-tokohmu dengan bumbu berupa elemen psikoanalisis itu. Sisipkan id dan beri panduan berupa superego. Dan jangan lupa, ia masih punya ego yang nyata![svm]