Apa kabar, Mas?

Semoga bersama keluarga, dan keluarga besar Kemendikbud Ristek, senantiasa sehat wal afiat dan terus dikaruniai kekuatan dalam menjalankan tugas sehari-hari.  Tentu penuh dinamika, menjalankan ‘kapal besar’ Kemendikbud Ristek dalam terpaan gelombang pandemi covid-19 saat ini.  Namun saya yakin, Mas Nadiem akan bisa melaluinya dengan baik.

Mas Nadiem yang terhormat, program Anda yang bernama 10 episode Merdeka Belajar adalah program yang brilian. Bukan basa-basi: komprehensif, dan fundamental. Terkait dengan itu, Mas Nadiem dan tim pasti sudah mempertimbangkan faktor keberagaman lembaga-lembaga pendidikan yang tersebar jauh antara Sabang dan Merauke, yang menjadi sasarannya. Namun, tampaknya hal ini masih perlu dipastikan. Kesannya, program ini baru bisa  menjangkau satuan pendidikan, organisasi, kampus, guru, kepala sekolah dan pemangku kepentingan lain yang kebetulan sudah memiliki kesiapan infrastruktur, Apalagi sebagian besar programnya masih akan dilakukan secara daring.

Mas Nadiem, tak perlu saya tegaskan bahwa dalam situasi pandemi saat ini, kita bersama memiliki kekhawatiran akan ancaman learning loss, terutama untuk anak-anak kita di wilayah akar rumput, pedesaan, daerah 3T, anak-anak dari keluarga kurang mampu, maupun anak-anak di perkotaan yang bersekolah di satuan pendidikan yang tidak memiliki sumber dana dan sumber daya mencukupi—yang sesungguhnya merupakan sasaran terbesar program pendidikan di negeri kita. 

(Baca juga: #Kurikulum berbasis Kebahagiaan)

Saya yakin, Mas Nadiem sudah memiliki terobosan untuk mengatasi learning loss ini melalui beragam program yang sudah dijalankan. Mulai dari menyiapkan kebijakan yang terkoordinasi antar kementerian dan pemda, penyiapan kurikulum dalam kondisi khusus, penerbitan modul literasi dan numerasi, beragam panduan yang mendukung BDR (Belajar dari Rumah)/PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh), dukungan paket data untuk peserta didik (yang belakangan tampaknya mulai seret), beragam kegiatan webinar pengembangan kapasitas Guru, bahan-bahan BDR dari TVRI (atau TV Edukasi), penyiapan platform Rumah Belajar, kerjasama dengan dunia usaha dan dunia industri, program untuk sekolah di wilayah 3T, program Kampus Mengajar  dan kegiatan berbagi praktik-praktik baik melalui  portal yang disediakan oleh Kemendikbuk Ristek, dan sebagainya. Tapi, ada kekhawatiran, beragam program ini lebih bersifat  ad-hoc yang belum bisa dipastikan efektivitasnya. Gaungnya— sebatas yang saya ketahui—tidak sekuat program Merdeka Belajar.  Padahal menurut hemat saya, penguatan BDR/PJJ untuk mengantisipasi learning loss inilah yang paling mendesak dan tidak bisa ditawar. Ya, negara harus benar-benar hadir untuk mengawal masalah raksasa yang ada di depan mata kita ini. Saya membayangkan, Mas Nadiem sowan ke Pak Jokowi dan mohon kepada beliau untuk menjadikan penanganan learning loss ini sebagai program strategis, yang barangkali harus ditangani oleh sebuah Satgas Nasional khusus. Saya juga membayangkan, akan sangat membantu jika Mas Nadiem, seperti Pak Doni Munardo sebelum ini,  lebih sering tampil di depan publik untuk memaparkan program-program konkret Kemendikbud Ristek terkait pandemi sambil membangkitkan optimisme di kalangan masyarakat. 

Mas Nadiem, secara khusus saya ingin menitipkan juga soal besar keberlangsungan PAUD. Saat ini, di masa pandemi, banyak PAUD yang kesulitan mendapatkan murid karena orang tua merasa tidak cukup mendesak untuk memasukkan putra-putrinya ke PAUD karena menganggap belajar online tidak banyak bermanfaat. Apalagi kalau harus keluar uang untuk bayar SPP, dan sebagainya. Ini berpotensi memperburuk learning loss, apalagi ini menyangkut pendidikan anak di usia emas. Dan yang paling berbahaya adalah jika keengganan mengirim anak belajar di PAUD ini terjadi di kalangan masyarakat tidak mampu. Konsekuensinya bisa besar. Karena justru anak-anak inilah yang lebih butuh stimulus-stimulus untuk perkembangan di masa-masa usia emasnya. Saya membayangkan, Mas Nadiem menggagas program nasional ‘Kembali ke PAUD’ dengan melibatkan Bunda-bunda PAUD pada berbagai tingkatan.  Hal lain, penting juga keberpihakan kita kepada putra-putri yang memiliki kebutuhan khusus yang juga terdampak luar biasa. Mereka terpukul dua kali, Mas: memiliki kebutuhan khusus yang, dalam situasi normal saja tak cukup terpenuhi akibat  keterbatasan sarana pendidikan special needs dan mahalnya biaya, lalu terperangkap dalam masa pandemi yang menjadikan segalanya lebih terkendala lagi. Mohon juga, bergandeng tangan dengan Mas Menteri Agama untuk mendiskusikan cara mengatasi permasalahan madrasah.  Mayoritas madrasah, yang umumnya lembaga swasta dengan sumber daya terbatas, ini memerlukan dukungan Mas Menteri berdua untuk mengatasi keterbatasan dan kesulitan yang mereka derita. Apalagi sekolah-sekolah ini menampung sebagian besar anak-anak dari kalangan kurang mampu, yang banyak di antaranya berada di pedesaan. 

Akhirnya, di penghujung surat ini, izinkan saya menyampaikan beberapa harapan:

–   Lebih banyak turun gununglah, Mas.  Ya, kehadiran Mas Nadiem secara lebih sering di sebanyak mungkin ruang publik dan akar rumput – ke daerah, sekolah-sekolah, dan berbagai lembaga yang relevan di berbagai wilayah negeri kita – tentu dengan protokol kesehatan yang ketat –  sangat diperlukan untuk menangkap aspirasi akar rumput secara lebih lengkap, komprehensif, dan akurat. Langkah ini sekaligus bermanfaat untuk  menenun jaringan dan menjalin sinergi dengan sebanyak mungkin warga dan kelompok masyarakat negeri ini. 

–    Sowanlah, Mas. Sempatkanlah sowan-sowan ke NU, Muhamadiyah, MUI, PGI, WGI, PHDI, Permabudhi, Matakin, NGO-NGO dan CSO-CSO yang bergerak di bidang pendidikan lainnya. Sebanyak-banyaknya. Saya cukup sering mendengar (mudah-mudahan ini tidak benar), bahwa organisasi-organisasi dan kelompok-kelompok masyarakat, yang selama ini memiliki peran strategis ini, merasa kurang digandeng untuk urun rembug dan berpartisipasi  dalam membangun sistem pendidikan kita. 

–     Menyempurnakan gaya manajemen Kemendikbud.  Lebih 40  tahun rasanya, saya mengelola perusahaan yang saya dirikan dan miliki (Btw, saya juga lulusan Harvard, lho, Mas😊).  Seperti, Mas, saya memiliki tim konsultan/tim ahli yang saya pilih dari orang-orang terbaik yang bisa saya dapatkan. Selain itu, saya juga sangat percaya dengan kemampuan tim konsultan dan juga outsourcee serta mitra.  Namun, Mas Nadiem tentu juga tahu, cara ini tak sepenuhnya cukup jika diterapkan pada ranah kebijakan publik. Selain raksasanya ukuran “pasar” dan wilayah serta keragaman luar biasa di dalamnya yang semuanya harus digarap, ada juga masalah kemiskinan dan keterbelakangan. Belum lagi tantangan kompleksitas budaya dan kerumitan politik. Hemat saya, perlu kiranya memperkuat tim yang ada dengan melibatkan sebanyak mungkin keterwakilan pemangku kepentingan dan keragaman tersebut.  Meski gaya manajemen perusahaan  tentu tetap diperlukan, tidak mungkin rasanya kebijakan pendidikan nasional dari sebuah bangsa – yang sedang berkembang, dengan ribuan pulau, dan lebih dari 260 juta penduduk dan ciri-ciri sedemikian – dikawal oleh sekelompok kecil ahli dan tim konsultan saja. Seberapa pun hebatnya mereka. Saya kira Mas Nadiem perlu mengintegrasikan juga ke dalamnya para ahli dan pihak-pihak yang betul-betul memahami dan berpengalaman menjadi pelaku pemberdayaan pendidikan di akar rumput: di pedesaan dan di wilayah 3T. Sehingga, bukan saja apapun kebijakan yang akan diambiil dapat sesuai dan menjawab kebutuhan seluruh lapisan dan beragam kelompok masyarakat. Yang tak kalah penting, bahkan amat sangat penting, seluruh lapisan itu akan memiliki sense of belonging yang kuat terhadap program-program Kemendikbud Ristek yang akan amat menentukan keberhasilannya. 

Demikian Mas Nadiem, mohon maaf sekiranya ada ungkapan atau kalimat yang kurang berkenan. Surat ini sesungguhnya adalah wujud cinta saya kepada negeri ini dan seluruh warganya, juga harapan kepada cerahnya masa depan pendidikan Indonesia.

 

Tertanda, 

Haidar Bagir*

 

*) Haidar Bagir sudah puluhan tahun berkecimpung di bidang pendidikan Dasar, Menengah, dan Tinggi dengan mengembangkan 20-an sekolah di seluruh Indonesia, baik sekolah-sekolah di perkotaan maupun di pedesaan. Haidar Bagir juga adalah penulis lebih dari 20-an buku, antara lain Memulihkan Sekolah, Memulihkan Manusia, Meluruskan Kembali Falsafah Pendidikan Kita