Oleh: Kang
Maman
Aku pernah melakukannya.
Jadi, tulisan ini tertuju untuk diriku sendiri.
Berbelanja ke pasar tradisional, pasar basah, aku masih saja menawar harga seikat kangkung yang dijajakan seorang ibu tua. Harga dua ribu seikat, masih saja tega kutawar 5000 tiga ikat. Harga centong dan ember yang dijajakan Pak Tua yang menarik kereta kayu keliling perumahan dengan susah payah, masih saja kutawar hingga hampir setengah jam. Hingga Pak Tua itu ngos-ngosan sepanjang proses tawar-menawar. Hingga Pak Tua itu seperti berada dalam posisi terdakwa menghadapi rentetan pertanyaan yang memojokkannya, seolah angka yang disebutkannya adalah penipuan konsumen yang luar biasa.
Aku, sepertinya berharap ibu dan bapak tua itu menyerah dengan tawaranku. Daripada kangkungnya semakin layu dan tak terbeli, ya sudah dipasrahkan saja menuruti penawaranku. Padahal, kangkung yang dijajajakannya di lapak kecil beralaskan tikar plastik itu tak lebih dari 25 ikat. Juga, daripada tak ada warga yang membeli centong dan embernya, Pak Tua itu kuharap mau merelakan dan patuh tunduk takluk pada penawaranku.
Lalu, aku menjadi lega bercampur bangga karena berhasil menawar. Sekaligus, merasa sukses menaklukkan mereka, dan menjadi pemenang!
Tetapi ketika makan di restoran, ketika bon diberikan, tak ada tawar-tawaran yang kulakukan. Harga total kubayar, sudah termasuk “tax dan service”. Dan ketika masih ada kembaliannya, dengan sombong kutaruh di tatakan kecil di atas meja, supaya dilihat oleh teman-teman di sekitarku, bahwasanya sungguh aku sangat pemurah. Sudah ada nilai “servis” di bon, masih juga memberi tip yang bisa digunakan untuk membeli sebungkus rokok, atau lima ikat kangkung, juga seharga satu centong yang mati-matian kutawar pada Pak Tua yang tertatih-tatih menarik dagangannya di bawah terik mentari yang menyengat.
Aku, menjadi bagian dari banyak manusia yang merasa hebat ketika bisa menekan orang lemah, tapi melunak dan segan kepada orang yang memang sudah berpenghasilan lebih besar dari ibu pedagang kangkung di pasar.
Kapanlah rasa kemanusiaan ini bisa mengalahkan gengsi?
Aku, yang mengaku umat Muhammad Saw. lupa sama sekali pada sabdanya,
“Carilah (keridhaan)Ku melalui orang-orang lemah di antara kalian. Karena sesungguhnya kalian diberi rezeki dan ditolong juga disebabkan orang-orang lemah di antara kalian.”
Mengapa di saat merasa lebih dan berhadapan dengan orang lain yang kuanggap lemah, kulupa begitu saja sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Bukankah kalian ditolong dan diberi rezeki lantaran orang-orang lemah di antara kalian?”[]