Search
Close this search box.

Puasa Sebagai Pelipur Lara

Ditulis oleh Minou, Admin Noura

Yuk, bagikan artikel ini!

Oleh: Haidar Bagir

 

Sudah banyak uraian tentang hikmah dan manfaat puasa disampaikan orang dari tahun ke tahun. Makin lama makin kaya tafsir tentang hal ini. Tentu baik dan mencerahkan.

Tapi, menurut saya, ada satu lagi suatu aspek ibadah puasa yang amat penting, khususnya pada masa yang penuh cobaan dan kesulitan seperti sekarang ini. Saat kesehatan jiwa mendapatkan tekanan-tekanan, akibat peradaban yang kering, serba-tergesa, nafsi-nafsi, dan salah arah ini. Lalu, depresi dan anxiety makin menimpa ke siapa saja.

Kenyataannya, meski kehidupan seperti tampak gemerlap, apalagi di media sosial, sejatinya kesepian dan kebosanan, bahkan keputusasaan, meruap di mana-mana.

Di sinilah hikmah ibadah puasa sebagai pelipur lara (seharusnya) memainkan peran yang menentukan.

Kurangnya perhatian kita kepada aspek ibadah puasa ini adalah karena kelaziman menafsirkan satu ayat Al-Qur’an secara monolitik dan kurang kreatif.

Mari kita mulai dengan menyebutkan ayatnya:

يٰۤاَ يُّهَا  الَّذِيْنَ  اٰمَنُوا  اسْتَعِيْنُوْا  بِا لصَّبْرِ  وَاصَّلٰوةِ   ۗ اِنَّ  اللّٰهَ  مَعَ  الصّٰبِرِ يْنَ

Ayat 153 dalam Surah Al-Baqarah ini–juga ayat berbunyi sama di Surah Al-Baqarah ayat 45 –biasa diterjemahkan sebagai:

“Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar.”

Tentu terjemahan ini tak salah, meski sesungguhnya ada pemahaman yang lebih spesifik tentangnya. 

Kata “shabr” dalam ayat di atas sesungguhnya bisa diterjemahkan sebagai “puasa”. 

Pertama, kata shabr punya makna yang sama dengan shaum, yakni perbuatan menahan sesuatu yang, kalau tidak ditahan, akan meronta-ronta. Seperti menahan kuda liar, misalnya. Nah, dalam hal ini, sabar dan puasa sama-sama bertujuan untuk menahan nafsu.

Nabi juga bersabda: “Puasa adalah bagian dari sabar.”

Lalu, jika melihat struktur kalimat ayat Al-Qur’an tersebut, seharusnya sebagaimana shalat adalah ibadah, maka adalah alami untuk menerjemahkan shabr sebagai–bukannya sikap bersabar, melainkan–ibadah juga. Yakni, ibadah puasa. 

Kenyataannya, banyak mufasir di sini menerjemahkan kata “shabr” dalam ayat di atas, sebagai puasa–tentu hal ini tak berarti bahwa menerjemahkannya sebagai sikap sabar adalah suatu kesalahan. Seperti saya singgung sebelumnya, ini adalah persoalan pemahaman umum dan pemahaman spesifik. Termasuk di dalamnya Ibn ‘Abbas, Mujahid, Al-Qurthubi, dll. 

Ungkapan “memohon pertolongan” kepada Allah ini juga dipakai dalam Surah Al-Fâtihah:

Iyyâka na‘budu, wa iyyâka nasta‘în

Kepada-Mu kami beribadah, dan kepada-Mu kami mohon pertolongan. 

Seperti mudah dipahami, kata ista‘inû, yang dipakai dalam Surah Al-Baqarah ayat 153 dan 45, itu memiliki akar kata yang sama dengan kata nasta‘în yang dipakai dalam Surah Al-Fâtihah itu. 

Nah, seperti juga dalam Surah Al-Fâtihah, permohonan pertolongan itu tentu tak terbatas pada pertolongan di akhirat. Melainkan juga pertolongan di dunia ini. Demikian yang dilakukan Nabi Saw., jika beliau mengalami kesusahan atau kesedihan, beliau mencari pelipurnya dalam shalat. Beliau bersabda: “Penyejuk mataku ada di dalam shalat.” Sehingga jika waktu shalat sudah tiba, beliau meminta Bilal untuk berada dengan berkata: “Arihnâ, yâ Bilal.” “Senangkan/tenangkan kami, wahai Bilal.”

Lalu, seperti juga shalat, puasa adalah wahana bagi pengembangan kedekatan kita dengan Allah Swt. Yang Maha Kuasa, sekaligus Maha Welas Asih. Bahkan, puasa, seperti dinyatakan dalam Hadis Qudsi yang lain, sebagaimana dipahami oleh Ibn ‘Arabi, adalah sarana kita bertemu dan menyatu dengan-Nya. 

الصوم لي و انا اجزي به

“Puasa adalah untuk-Ku. Dan Aku Sendirilah yang menjadi imbalannya.”

Maka, bagaimana seseorang bisa kesepian, apalagi putus asa jika koneksinya dengan Allah sudah senantiasa terpelihara? Toh masalah adalah ujian yang Dia juga yang berikan kepada kita. Dia kuasa memberikannya dan Dia jugalah yang kapan saja kuasa mengangkatnya. Bukan itu saja. Karena Dia Maha Welas Asih, maka cobaan itu tentu untuk kebaikan kita juga, dan kadarnya akan dibatasi atau disesuaikan dengan kemampuan kita–yang juga merupakan anugerah-Nya–untuk menanggungnya, serta pada akhirnya akan Dia lepaskan juga dari kita.

Sehingga, menjadi mungkin bagi kita untuk menghayati ajaran Nabi Saw. bahwa cobaan atau masalah adalah sapaan Cinta-Nya kepada kita. 

Lalu, siapakah yang akan menolak cinta dan bersedih–depresi dan cemas–karena mendapatkan ujian-Nya?

Demikianlah, seperti shalat, puasa pada hakikatnya adalah pelipur lara bagi orang-orang beriman ….