“Kalau saya, sebagai penyelenggara jaringan sekolah di berbagai wilayah di Indonesia, bisa memilih dengan bebas, saya akan pilih model sekolah yang hampir-hampir tidak ada sama-samanya dengan sekolah yang dikenal sekarang ini.”

Haidar Bagir, penulis buku-buku Islam kenamaan sekaligus Presiden Direktur Mizan Group dan juga pendiri Yayasan Pendidikan Lazuardi, resah dengan model pendidikan di Indonesia. Ia melihat ada yang tidak beres dengan sistem pendidikan di Indonesia. Padahal, kualitas pendidikan menjadi tolok ukur kemajuan suatu negara.

Keresahannya terhadap dunia pendidikan Indonesia mendorongnya untuk terlibat langsung dalam dunia pendidikan. Selain mendirikan Sekolah Lazuardi, ia pun menuangkan pandangannya terhadap dunia pendidikan dalam kumpulan esai yang kemudian dibukukan dengan judul Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia. Lantas seperti apa pandangan Haidar Bagir terhadap dunia pendidikan? Berikut intisari dari buku Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia :

(Gambar dari duniaibuibu.com)
  1. Pembangunan kapasitas reflektif (sekaligus kreatif) dan moral individual

Haidar menekankan pentingnya membangun kapasitas reflektif dan moral individual. Hal ini diakibatkan absennya falsafah pendidikan dalam sistem pendidikan hari ini, yang menyebabkan kerancuan dalam perumusan tujuan dan praktik pendidikan di level yang lebih praktis. Akibatnya, perumusan tujuan banyak berorientasi pada domain kognitif dan psikomotorik, meminggirkan domain afektif dan moralitas. Lebih parahnya lagi, penerapannya dilakukan dengan strategi pencekokan informasi dengan menghafal tanpa melibatkan proses berpikir mendalam, bukan mendorong rasa keingintahuan dan kreativitas siswa.

“Kegagalan pendidikan kita dalam mengembangkan kecerdasan sosial-emosional telah, sebelum yang lain-lain, menyebabkan anak-anak kita tak memiliki kemampuan untuk mengembangkan emosi positif dan empati,” tulisnya.

Dampaknya pun berpengaruh pada perkembangan kedewasaan anak, “yang sangat menentukan kesejahteraan psikologis dan sosial mereka: mudah patah dan menyerah, mudah ‘galau’, tak punya solidaritas sosial—padahal, pertemanan merupakan sumber, bukan hanya kesuksesan, melainkan juga kebahagiaan.”

(Baca juga: #DiRumahAja Bersama Michelle Obama)

Ia berargumen, keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara juga kesuksesan karier individual warga negaranya lebih banyak ditentukan oleh kapasitas reflektif (sekaligus kreatif) dan kekuatan karakter. Oleh karena itu, ia mendorong agar kurikulum pendidikan harus mementingkan pengembangan kepekaan dan kepedulian sosial, baik teori maupun praktik di lapangan.

Untuk mendorong kreativitas, anak perlu diberi kebebasan untuk berimajinasi dan berpikir, termasuk untuk berbuat salah (trial and error). Salah satu medium yang bisa diterapkan ialah dengan mempelajari kesenian. Kesenian tidak hanya menempa daya imajinasi dan kreatif, serta memberikan rasa kepuasan (kebahagiaan) dari kemampuan mengapresiasi karya-karya keindahan, tetapi juga sebagai sarana melembutkan hati dan memperbaiki budi-pekerti.

  1. Menjadikan Anak Bahagia

Pendidikan tidak hanya bertujuan menjadikan anak pintar, tetapi juga bahagia. Hal ini karena menurut Haidar, sasaran konkret pendidikan paling awal ialah mengembangkan manusia-manusia yang mampu hidup bahagia. Hidup bahagia ditopang oleh karakter-karakter yang dapat menghasilkan emosi-emosi positif.

Pendidikan tidak hanya bertujuan menjadikan anak pintar, tetapi juga bahagia.

Lantas dari mana karakter-karakter tersebut muncul? Karakter-karakter tersebut akan muncul jika kita dapat membangun atmosfer yang positif. Atmosfer yang positif, menurut Haidar, muncul jika anak diberikan ruang seluas-luasnya untuk mereka berekspresi, serta membuat kesalahan-kesalahan dan belajar darinya. Juga untuk belajar apa yang dia senangi.

Oleh karena itu, perlu ada perubahan dalam paradigma mendidik anak. Pendidikan tidak lagi berorientasi pada nilai rapor, tetapi fokus pada pemenuhan syarat-syarat untuk bahagia. Guru ataupun orang tua harus menjadi pendidik yang  memfasilitasi suasana yang nyaman untuk belajar bagi anak-anak kita, selalu memelihara harga diri mereka, dan selalu memberi ruang seluas-luasnya bagi anak-anak kita untuk mencoba dan salah.

(Baca juga:
Memahami Konsep Sabar dan Ridha ala Ustadz Zaki Mubarak
)

  1. Guru sebagai fasilitator bukan pendikte

Proses pengajaran tidak seharusnya dilakukan secara satu arah “diktatorial” (mendikte dan memonopoli kebenaran), serta kurang menghormati martabat siswa. Paulo Freire menolak apa yang disebutnya sebagai banking concept of education, yang di dalamnya siswa dianggap sebagai “celengan” yang harus diisi guru.

Murid harus diberi kesempatan mengeksplorasi seluas mungkin segala sesuatu dan mencoba-coba sebanyak-banyaknya, serta berpikir sebebas-bebasnya, termasuk untuk berbuat kesalahan (trial and error) sebanyak-banyaknya. Haidar menekankan pembelajaran paradigma aktualisasi. Apa yang dimaksud dengan paradigma aktualisasi?

Paradigma aktualisasi melibatkan proses belajar yang alami, yang sejalan dengan kenyataan bahwa seluruh apa yang hendak dipelajari manusia sebetulnya sudah ada di dalam dirinya. Ia benar-benar melibatkan inisiatif siswa. Inilah active learning sejati. Tugas guru dan lingkungan ialah mempersiapkan lahan—atmosfer dan bimbingan—(secara fisik, psikologis, dan ruhani) demi berkembang-suburnya “biji” potensi dalam diri manusia itu.

(Baca juga:
Muhasabah di Tengah Wabah dengan Buku #HidupKadangBegitu)

  1. Sekolah tempat untuk mencicipi gagal

Bagi Haidar, tujuan pendidikan bukan untuk mempersiapkan orang-orang yang sukses dalam kariernya. Sekolah, sebagai sarana pendidikan. baginya, justru harus menjadi tempat anak mencicipi kegagalan. Gagal seperti apa yang dimaksud Haidar?

Sebelum memahami seperti apa definisi “gagal” yang dimaksudkan, perlu diingat bahwa pendidikan ditujudkan untuk menciptakan kebahagiaan hidup—bagi diri sendiri, termasuk juga bagi sesama. Oleh karena itu, sekolah seharusnya tidak dilihat hanya untuk tempat menempa keterampilan mengembangkan karier.

Masalahnya, hari ini sekolah dilihat tidak lagi sebagai tempat untuk belajar. Para pendidik justru memisahkan siswa yang “baik” dari yang “kurang/tidak baik”, dengan medium tes-tes yang justru menonjolkan kekurangan anak. Untuk menilai apakah seorang siswa mampu menyelesaikan bahan-bahan tes sekadar yang relevan dengan kompetensi yang diraihnya, soal-soal dibuat sedemikian sulit sehingga anak ketahuan keterbatasan alias kekurangmampuannya. Cara yang terakhir memang cocok untuk mencari calon karyawan terbaik.

Sekolah seharusnya menjadikan anak cinta dan terampil belajar (mencari ilmu), kemudian juga mengembangkan kepercayaan diri, keberanian berekspresi dan keterampilan berkomunikasi, serta mengembangkan sikap toleransi terhadap perbedaan pandangan dan hidup demokratis. Semua tujuan mendasar ini hanya mungkin dicapai jika siswa diberi ruang seluas-luasnya untuk mencoba-coba, terlepas gagal atau tidak. Sekolah seharusnya mendorong murid untuk berani melontarkan pendapat (dan dihormati pendapatnya meski mungkin dianggap keliru, baik oleh sesama siswa maupun guru). Inilah yang Haidar maksud sekolah adalah tempat “gagal”, bukan “berhasil”—yang sesungguhnya baru akan dihadapinya ketika terjun ke dunia nyata.

Maka, sistem ranking yang umum diterapkan di sekolah-sekolah sesungguhnya tidak relevan untuk mendukung proses pendidikan yang menghasilkan manusia bahagia. Begitu pula dengan mencoba menilai seseorang melalui nilai rata-rata dari semua bidang keahlian.

(Baca juga: Memaknai Ramadhan di Tengah Pandemi)

  1. Pendidikan Agama Berorientasi Akhlak

Menurut Haidar, kesuksesan seseorang tidak hanya diukur dari seberapa pintar dirinya. Ia juga dituntut untuk mampu menyeimbangkan IQ-EQ-SQ-nya. Tidak hanya pintar secara otak, ia diharapkan mampu mengontrol emosi dan bersikap sensitive, sehingga pandai menempatkan diri dalam hubungan sosial antarmanusia. IQ dan EQ sepatutnya berbasis pada kecerdasan spiritual (SQ).

Manusia dalam berperilaku didorong oleh kebaikan hati dan ketulusan, yang berhubungan dengan Tuhan. Pada puncaknya, hubungan yang tulus dengan Tuhan dapat menghadirkan Tuhan dalam hati dan kehidupan kita, Tuhan sebagai sumber segala kebaikan. Sehingga manusia dihindarkan sejauh mungkin dari menganiaya diri sendiri dan orang lain. Yakni, berbuat keburukan. Oleh karena itu, pembelajaran agama seharusnya didorong pada penanaman akhlak.

Selain itu, pembelajaran agama seharusnya tidak didasari pada nilai rapor yang hanya mengandalkan aspek kognitif. Anak-anak sedini mungkin dilibatkan dalam praktik menceburkan diri dalam realitas sosial-ekonomi masyarakat. Selain mempraktikkan langsung penanaman akhlak dalam konteks interaksi sosial, anak sedini mungkin belajar bergaul dan diajarkan berkontribusi mengatasi persoalan sosial-ekonomi masyarakat. Sehingga, beragama tidak hanya menempa kesalehan individu, tetapi juga kesalehan sosial.[]