Search
Close this search box.
Hidup Kadang Begitu

Muhasabah di Tengah Wabah dengan Buku #HidupKadangBegitu

Ditulis oleh ,

Yuk, bagikan artikel ini!

Petrus sedang bimbang. Ia dan pengikutnya sedang melarikan diri dari Kota Roma agar tidak menjadi martir bagi kepercayaannya, karena Kaisar Nero memerintahkan pasukannya menangkap para penganut Kristen. Tiba-tiba di perjalanan ia menjumpai “sosok” Yesus, yang telah disalib bertahun-tahun sebelumnya. Ia bertanya pada “sosok” Yesus tersebut. “Mau ke mana, Tuan?” Sosok Yesus itu kemudian konon menjawab, “Aku mau ke Kota Roma untuk disalib kedua kalinya.”

Petrus menyadari ia tidak bisa lari dari takdirnya untuk mati dan menderita demi Yesus. Akhirnya, ia memutuskan malam itu juga kembali ke Roma, meski berisiko ditangkap pasukan Romawi. Para pengikutnya pun mempertanyakan keputusan tersebut.

Petrus akhirnya benar-benar kembali ke Roma, dan pasukan Romawi pun menangkapnya. Ia dijatuhi hukuman salib. Namun, ia meminta disalib dengan posisi kepala di bawah, karena ia merasa tak pantas disalib dengan posisi yang sama dengan Yesus.

Sepeninggal Petrus, ajaran Kristen tidak lantas berhenti menyebar, tetapi terus mendapatkan pengikut baru. Ajaran Kristen semakin berkembang dengan Roma sebagai pusatnya, dan menarik minat para penduduk Romawi. Beberapa ratus tahun setelah kematiannya, agama Kristen kemudian diadopsi oleh Kekaisaran Romawi sebagai agama resmi, dan terus menyebar dengan cepat. Ia pun ditahbiskan sebagai paus pertama oleh Gereja Katolik, dan namanya diabadikan sebagai nama gereja utama di Vatikan, Basilika Santo Petrus. Jika malam itu Petrus memutuskan tidak kembali ke Roma, ceritanya mungkin akan berbeda.

Beratus-ratus tahun setelah kisah Petrus, terdapat kisah penting yang lain mengajarkan pentingnya kesabaran. Ketika berlangsung Perjanjian Hudaibiyah antara umat Islam dengan kaum Kafir Makkah, umat Islam di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. saat itu sebenarnya sudah cukup untuk mengalahkan kaum Kafir Makkah. Tapi apa yang dilakukan Nabi Muhammad saat itu? Beliau justru memilih berunding dengan mereka.

Ketika teks perjanjian diawali dengan kalimat Bismillâhir-rahmânir-rahîm, sontak kaum Kafir Makkah melontarkan protes, dan meminta kalimat tersebut dihapus. Nabi Muhammad pun menyetujuinya.

Kaum Kafir Makkah kembali protes ketika Nabi meminta teks diawali dengan kalimat, “Inilah yang sudah disetujui oleh Muhammad Rasulullah dan Suhail bin ‘Amr.” Suhail protes karena kaum Kafir Makkah tidak mengakui kenabian Muhammad. Ia meminta agar cukup nama Muhammad dan ayahnya yang ditulis. Muhammad pun menuruti permintaan tersebut, meski dalam salah satu riwayat disebutkan sahabat enggan menghapusnya sehingga Nabi sendiri yang menghapus kata “Rasulullah” tersebut.

Para sahabat melihat perjanjian tersebut merugikan kaum Muslim, dan enggan menerima perjanjian tersebut. Dalam satu cerita disebutkan, Umar bin Khaththab sampai menemui Abu Bakar karena kesal dengan hasil perjanjian tersebut. Tidak puas dengan jawaban Abu Bakar yang meyakini keputusan Nabi, Umar pun menemui langsung Nabi dengan perasaan geram. Nabi tetap bergeming dengan keputusannya. Di akhir pembicaraan, Nabi berkata, “Aku hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku takkan melanggar perintah-Nya, dan Dia tidak akan menyesatkan aku.”

Perjanjian Hudaibiyah membuktikan kecerdasan strategi Nabi. Untuk pertama kalinya umat Islam diakui eksistensinya, dan diberi kesempatan duduk sejajar. Pelanggaran perjanjian yang dilakukan kaum Kafir Makkah pun mendorong Nabi memimpin kaum Muslim menaklukkan Makkah dalam peristiwa Fathu Makkah, dan Makkah pun dikuasai umat Islam. Sebuah pengorbanan yang berbuah manis.

Kisah dari dua agama Samawi terbesar di dunia itu dikutip Rais Syuriah PCINU Australia dan Selandia Baru sekaligus dosen tetap Fakultas Hukum Monash University, Dr. KH. Nadirsyah Hosen, atau akrab dipanggil Gus Nadir dalam salah satu bab tulisannya di buku #HidupKadangBegitu yang ditulis bersama penulis Maman Suherman, atau akrab dikenal dengan Kang Maman. Dua kisah tersebut seakan merefleksikan kondisi hari ini. Wabah virus corona memaksa kita untuk menjaga jarak sehingga hampir seluruh aktivitas kita lakukan dari rumah. Bagi mereka yang suka beraktivitas luar rumah tentu ini menjadi cobaan berat melawan rasa bosan, sementara kita sendiri belum tahu kapan wabah ini akan berakhir. Sekadar ke minimarket kini tampaknya terasa sudah seperti hiburan.

Itu baru ujian awal. Ujian lainnya bisa jadi lebih berat lagi. Wabah virus corona juga menggoyang perekonomian. Omzet usaha menurun, kejadian gaji dipotong terjadi di mana-mana, begitu pula kasus PHK, di mana 2,8 juta orang terpaksa di-PHK dan dirumahkan. Kita pun harus memastikan daya kesabaran kita selalu terisi penuh dalam situasi seperti ini.

“Kesabaran memang sebuah pengorbanan, namun bukan berarti sebuah kekalahan untuk selamanya. Lewat kesabaran, kemenangan akan tiba,” pesan Gus Nadir masih dalam bab yang sama.

Debut Kolaborasi

Baik Gus Nadir atau Kang Maman cukup dikenal produktif dalam menulis. Namun, baru kali ini keduanya berkolaborasi menghasilkan sebuah buku.

Di bagian pendahuluan buku, Kang Maman menyelipkan sebuah kisah khusus di balik terbentuknya “duo” Kang Maman-Gus Nadir. Kang Maman bercerita soal hambatan di balik penulisan buku ini, salah satunya ialah lambatnya pembuatan dan pengiriman tulisannya, sehingga penerbit terus-terusan menagih.

“Jika tidak bersabar, Gus Nadir bisa saja dengan mudah ‘mengkhianati’ komitmen bersama kami untuk, ‘Saya nulis sendiri ajalah ….’ Meninggalkanku dan menulis sendiri buku ini,” ceritanya dalam bab salam pembuka “Gundul Gondrong: Dynamic Duo?”

Kang Maman bercerita, selama 6 bulan proses penulisan, keduanya terpisah oleh jarak, mengingat Gus Nadir sedang mengajar di Monash University, Melbourne. Diskusi pun dilakukan melalui WhatsApp atau sambungan telepon. Setiap kali Gus Nadir menagih tulisan melalui telepon, Kang Maman pun selalu siap dengan jawabannya.

“Dia (Gus Nadir) nelpon, saya teriak, ‘Belum jadi’,” kenangnya dalam sesi Instagram Live “Di Jakarta, #HidupKadangBegitu”, Jumat (17/4/2020) malam.

Kang Maman mengaku, pertama kali kenal dengan Gus Nadir melalui media sosial. Nama Gus Nadir mengingatkan Kang Maman pada guru agamanya, Prof. KH. Ibrahim Hosen, pendiri Perguruan Tinggi Ilmu Quran (PTIQ) dan Institut Ilmu Quran (IIQ) yang juga ayah Gus Nadir.

“Tiba-tiba saya lihat di Instagram dan Twitter ada orang namanya Nadirsyah Hosen, saya ngobrol dengan dia, akhirnya dia bilang, ‘Itu (Prof. KH. Ibrahim Hosen) bapak saya’, dari situ kami akrab,” ceritanya soal pertemuan pertamanya dengan Gus Nadir. “Apalagi Gus Nadir juga punya darah Sulsel, sering tektokan, kemudian kita klop,” lanjutnya.

Buku sekitar 200-an halaman ini memang kumpulan tulisan keduanya. Topik tulisan pun beragam, mulai dari motivasi hingga renungan hidup, tetapi tema besarnya meliputi agama, ilmu, dan kehidupan. Buku ini memang lebih seperti kumpulan tulisan status Facebook. Rata-rata bab terdiri dari 3-5 halaman.

Jangan bayangkan buku ini semacam buku kajian fiqih yang diisi dengan tulisan Arab Pegon ala kitab kuning di pesantren. Walaupun Gus Nadir ialah seorang doktor, ia menggunakan bahasa yang ringan dan mudah dimengerti orang awam sekalipun. Ia juga menggunakan analogi-analogi yang mudah dipahami.

Salah satu contoh analoginya yang menarik ialah analogi air dan emas, yang relevan dengan kondisi persaingan kerja saat ini. Ia mengibaratkan air ialah kemampuan yang umum dijumpai, sedangkan emas ialah kemampuan spesial yang jarang ditemui. Ia mencontohkan almarhum B.J. Habibie yang seorang insinyur pesawat dan kemampuan tersebut jarang dijumpai di Indonesia, serta dirinya sendiri yang menguasai Ilmu Hukum dan Ilmu Hukum Syariah sekaligus, yang jarang ditemui di luar negeri.

Buku ini pun menjadi wajib menjadi bacaan Anda selama beraktivitas di rumah. Masa beraktivitas di rumah dapat menjadi fase yang tepat untuk bermuhasabah, dan buku #HidupKadangBegitu menjadi panduan yang pas sebagai koreksi terhadap hidup yang selama ini Anda jalani.