Oleh: Truly Rudiono
Sebuah jeritan, lantang dan menyeramkan, terlontar dari tenggorokan.
Aku berputar ke arah jendela-jendela dapur.
Ruangan hening. Jantungku berdentam-dentam.
Dari mana asalnya?
Entah sedang tren, sebuah buku yang mengusung tentang wanita yang mengalami depresi dan menemukan pelarian pada alkohol, kembali terbit menawarkan sesuatu yang konon katanya berbeda dengan buku serupa.
Buku serupa? Ada beberapa, dimulai dengan The Girl on The Train yang membuat pembaca terpesona hingga muncul versi layar lebarnya. Lalu ada The Woman in Cabin 10. Terakhir buku ini, The Woman in the Window. Benang merah ketiga kisah ini selain urusan alkohol sebagai pelarian, ada juga kisah cinta yang tak sampai.
Meski berprofesi sebagai seorang psikiater, tapi tidak menjamin ia mampu membantu dirinya keluar dari keterpurukan. Demikian juga dengan sosok Anna Fox, psikiater dan ibu dari seorang anak gadis. Ia tetap butuh bantuan pihak lain untuk menyelamatkan kondisinya.
Kehidupan Anna Fox berubah dratis sejak dinyatakan mengalami agoraphobia-ketakutan akan tempat terbuka dan keramaian. Otomatis ia tidak bisa menjalankan prakteknya kembali, karena sama artinya ia harus keluar dari rumah. Suatu hal yang sangat menakutkan baginya.
Maka kesehariannya diisi dengan menonton film lawas, berlatih bahasa Perancis dan bermain catur secara daring, berlatih kebugaran, dan mengikuti kelompok pengidap ketakutan yang sama. Tapi yang paling ia sukai adalah kegiatan mengamati para tetangga dengan mempergunakan kameranya.
Anna, terutama terpesona oleh keluarga yang tinggal di seberang taman, Russells. Tak lama setelah pindah, anak laki-laki mereka membawakan hadiah dari sang ibu. Sebuah percakapan singkat terjadi diantara keduanya. Entah kenapa Anna merasa cocok dengan sang anak. Mungkin tanpa sadar mengingatkannya pada sang anak gadis, entahlah.
Itu sebabnya dia begitu panik ketika mendengar jeritan mengerikan dari rumah mereka. Kedekatan emosian yang terbangun tanpa sengaja membuatnya ingin tahu apa yang terjadi di sana. Segera ia mengambil kameranya dan mengarahkan ke jendela rumah keluarga Russells, kemudian melihat apa yang dia yakini sebagai pembunuhan, “…dia berjalan perlahan-lahan, dengan ganjilnya. Terhuyung. Petak merah gelap menodai bagian atas blusnya; bahkan ketika aku sedang mengamati, noda itu menyebar ke perutnya. Sepasang tangannya mengais-ngais dada. Sesuatu yang ramping dan berwarna perak tertanam di sana, seperti gagang pisau.”
Baca Juga: Agorafobia, Monster Bagi Kaum Hawa
Secara spontan Anna menghubungi 911 untuk melaporkan apa yang ia lihat. Meski merespons dengan mengirim polisi ke lokasi yang Anna sebutkan, namun mereka berkesan tidak percaya pada apa yang Anna ceritakan. Polisi dan keluarga Russells bahkan mengira semua dilakukan Anna untuk mencari perhatian semata. Apa lagi sosok yang ia katakan terbunuh, muncul di hadapannya dalam kondisi sehat!
Anna jelas tidak terima dituduh seperti itu. Ia bertekat membuktikan bahwa ia berbicara jujur. Bahkan sampai melakukan hal yang menakutkan seperti nekat membuntuti salah seorang anggota keluarga Russells. Artinya ia harus nekat keluar dari rumah. Untung dia tidak sampai celaka. Dan pembaca akan diajak mengikuti langkah Anna membuktikan bahwa ia bukan seorang pembohong!
Pada bagian awal, saya agak merasa jenuh dengan uraian mengenai Anna dan tempat tinggalnya. Baru setelah nyaris seperempat buku, keseruan yang dijanjikan mulai muncul. Dan sungguh membuat saya tak ingin berhenti membaca hingga akhir kisah.
Beberapa bagian yang sepertinya nyata, ternyata hanyalah bagian dari halusinasi Anna semata. Untuk itu berhati-hati dalam mengambil kesimpulan he he he. Karena yang terlihat wajar bisa saja justru hal yang paling mengejutkan. Kena jebakan Batman saya ^_^.
Tidak saja memberikan berbagai kejutan yang tak terduga, pembaca juga mendapat pengetahuan dari sisi psikologi mengenai sikap dan gaya bicara seseorang. Apakah makna dari gerakan yang ia lakukan. Pada halaman 251 sebagai contoh, diuraikan mengenai tanda orang sedang berbohong dan ketakutan.
Baca Juga: 5 Novel Terbaik Domestic Noir
Baca Juga: Domestic Noir, Aroma Baru Novel Thriller Psikologis
Oh ya, jika mengamati sampul dari penerbit Noura, saya menangkap kesan kisahnya menyangkut sosok wanita yang terlihat di depan jendela dari sebuah bangunan bertingkat. Secara tak langsung memang kisahnya mengenai sosok wanita yang dilihat Anna melalui lensa kameranya dari jendela.
Tapi urusan bentuk rumah atau bangunan sepertinya tidak seperti yang digambarkan. Dalam sampul, sepertinya merupakan sebuah gedung bertingkat, atau apartemen. Sedangkan kisahnya justru mengambil lokasi sebuah rumah bertingkat biasa.
Penderita Agoraphobia umumnya enggan keluar rumah untuk bertemu dengan tetangga. Mereka akan lebih memilih berdiam diri di rumah. Si penderita merasa pusing dan panik jika mendengar suara keras serta teriakan.
Dalam http://doktersehat.com/ disebutkan bahwa gejala umum agoraphobia termasuk: takut berada di tempat-tempat ramai, takut kehilangan kontrol di tempat umum takut berada di tempat di mana yang mungkin sulit untuk keluar, seperti lift atau kereta api, serta ketidakmampuan untuk meninggalkan rumah atau hanya mampu meninggalkannya jika orang lain menemani.
Selanjutnya juga dikatakan bahwa penderita juga akan merasakan denyut jantung cepat, berkeringat berlebihan, kesulitan bernafas, menggigil, kepala pusing, merasa gemetar, mati rasa atau kesemutan serta merasakan kehilangan kontrol diri.
Sebenarnya saya penasaran dengan simbol dewasa yang ada di sampul. Menilik keseluruhan kisah, sepertinya unsur dewasa ada pada kepribadian salah satu tokoh yang sangat mengejutkan. Ia bahkan tak segan-segan menyatakan ingin membunuh Anna! Kepribadian yang tak layak diikuti oleh kaum muda.[]
Sumber: http://trulyrudiono.blogspot.com