Hakikat Cinta dalam Perspektif Islam
<– Baca tulisan sebelumnya
Ada satu pertanyaan yang sering sekali diajukan ketika menjelaskan tentang cinta, Apa hakikat cinta menurut Islam? Menurut Islam, sesuai dengan ajaran yang kita pahami, hakikat cinta, setidaknya, ada empat, yaitu fitrah, amanah, ma’iyah, dan ishlâh.
–Fitrah, yaitu dorongan jiwa yang kita miliki sejak lahir. Kemampuan untuk mencintai itu merupakan bawaan alami setiap manusia. Tidak ada orang yang tidak bisa mencintai, meskipun ada yang mungkin tidak mau mencintai, tetapi itu persoalan lain. Kalau dikatakan tidak bisa mencintai, itu mustahil, karena kemampuan mencintai sudah menjadi bagian dari diri kita.
Berbeda dengan ilmu seperti matematika, biologi, fisika, atau kimia yang harus kita pelajari terlebih dahulu, cinta tidak membutuhkan pelajaran formal untuk bisa dipahami. Bahkan banyak orang yang tidak mengenyam pendidikan pun, jiwa mereka justru lebih penuh cinta daripada kita yang belajar di bangku sekolah.
Ada yang menggunakan istilah anugerah dari Allah untuk menggambarkan cinta. Cinta adalah potensi yang ada dalam diri kita, dan ketika cinta itu menyala, sebenarnya yang menyalakannya adalah Allah. Cinta adalah anugerah yang datang secara alami. Kita tidak bisa memilih kepada siapa atau sebab apa kita akan jatuh cinta, karena cinta merupakan anugerah. Sebagai contoh, kita mungkin sering berorganisasi, bertemu banyak orang, dan sering bercengkerama dengan mereka, tetapi kita tidak juga jatuh cinta. Namun, bisa jadi, ketika bertemu seseorang hanya sekali, kita langsung merasakan adanya cinta. Inilah yang disebut anugerah.
Cinta adalah potensi yang selalu ada dalam diri kita. Ibarat lampu listrik, ketika sakelarnya dinyalakan, lampu akan menyala; ketika dimatikan, lampu akan padam. Namun, kita tidak tahu kapan cinta akan menyala atau kapan cinta akan padam. Karena yang menyalakan sakelar cinta adalah Allah.
Terkadang, cinta datang kepada orang yang tidak pernah kita duga sebelumnya. Seseorang mungkin sudah kuliah ke sana-kemari, dari kampung sampai ke Jogja, bahkan ke Jakarta, tetapi tidak juga bertemu jodoh. Ketika pulang kampung, justru di sana dia menemukan jodohnya dan menikah dengan tetangga sendiri. Bisa saja dia berpikir, “Seandainya tahu jodohku ada di sini, aku tidak perlu capek-capek muter-muter ke sana kemari.” Namun, begitulah rahasia Allah, hanya Dia yang bisa menyalakan dan mematikan cinta sesuai kehendak-Nya.
–Amanah. Ketika Allah menyalakan rasa cinta dalam diri kita, saat itu juga kita merasakan kebahagiaan. Namun, di balik rasa bahagia yang dianugerahkan itu, terdapat amanah atau tanggung jawab yang harus kita pikul.
Menurut Erich Fromm, cinta tidak sekadar falling in love, tetapi juga standing for love. Di sinilah kita memiliki tanggung jawab untuk menegakkan cinta secara positif dan kreatif, dengan penuh rasa tanggung jawab. Bagi mereka yang sedang jatuh cinta, seperti yang kita bahas sebelumnya, kita perlu berhati-hati. Jika cara kita menghidupkan cinta tidak memenuhi amanah-amanah yang diberikan oleh Allah, jangan kaget jika cinta itu hilang. Sering kali kita mendengar ungkapan: “Dulu, aku sangat senang bersamamu, tapi sekarang kok perasaanku hilang.” Jika ini terjadi, kita perlu muhâsabah; jangan-jangan kita menghidupkan cinta di jalur yang salah, atau ada yang keliru dalam cara kita menjalaninya. Maka, kita perlu berhati-hati dalam menjalaninya. Ini tidak hanya berlaku untuk cinta kepada lawan jenis, tetapi juga mencakup cinta kita kepada sahabat, atau kepada siapa pun, bahkan cinta kepada negara. Kita harus menjalankan cinta sesuai dengan amanahnya.
Cinta tanah air, misalnya, adalah anugerah Allah yang luar biasa. Namun, apakah amanahnya telah dijalankan dengan benar? Hari ini, adakah di antara kita yang mulai merasa kurang cinta terhadap bangsa kita? Setiap kali membaca berita di media sosial, kita merasa Indonesia sudah rusak, kacau, dan lain-lain. Mungkin, ini adalah tanda bahwa ada amanah yang tidak tertunaikan sehingga Allah mencabut rasa cinta itu dari hati kita.
–Ma’iyah, dalam makna harfiah, berarti kebersamaan. Cinta adalah kekuatan luar biasa ketika kita berada dalam kebersamaan. Kita bisa menggambarkan cinta seperti ini bagaikan tiang-tiang yang berdiri berdampingan di suatu bangunan yang saling menopang dan mendukung satu sama lain. Meskipun masing-masing tidak saling memiliki, tiang-tiang ini tidak saling meruntuhkan, tidak bersifat posesif, dan tidak manipulatif, mereka tetap kuat karena berada dalam kebersamaan. Begitu pula cinta ma’iyah, saling menguatkan satu sama lain.
Cinta ma’iyah memberi ruang bagi setiap individu untuk berperan sesuai posisinya tanpa mengontrol atau menghegemoni satu sama lain. Nilai yang terkandung dalam kebersamaan ini adalah empati, yaitu kemampuan untuk memosisikan diri kita di tempat orang yang kita cintai. Jadi, ketika kita mencintai seseorang, kita harus bisa memahami dan merasakan apa yang dia rasakan. Cinta yang penuh empati menciptakan hubungan yang harmonis, di mana masing-masing pihak merasa diperhatikan dan dihargai. Dengan ma’iyah, cinta menjadi lebih kuat karena saling mendukung dan memperkuat, sehingga menciptakan ikatan yang kukuh dalam hubungan kita.
–Ishlâh, dalam makna harfiah, berarti perbaikan. Cinta itu adalah ishlâh. Cinta sejati membebaskan dan mendorong orang yang mencintai untuk meningkatkan kualitas dirinya. Seseorang yang mencintai seharusnya dapat menaklukkan egonya, karena ego merupakan penghalang terbesar untuk meraih kebebasan, keikhlasan, dan kedekatan dengan Allah.
Orang yang mampu mengalahkan egonya akan mengalami banyak ishlâh dalam dirinya, berupa perbaikan-perbaikan yang signifikan. Cinta yang tulus dan mendalam membawa dampak positif bagi diri kita dan orang lain, serta menciptakan perubahan yang lebih baik dalam hidup kita.
Banyak orang ketika membicarakan cinta konotasinya adalah cinta erotis atau cinta romantis. Meskipun ini tidak salah dan merupakan bagian dari cinta, tapi makna cinta jauh lebih luas dari itu. Maka, penting bagi kita untuk mengubah mindset tentang cinta. Dalam konteks ini, kita perlu memahami bahwa cinta juga mengandung tanggung jawab untuk melakukan perbaikan dalam diri sendiri untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Jadi, ketika ditanya tentang hakikat cinta, ingatlah empat aspek ini: fitrah, amanah, ma’iyah, dan ishlâh. Keempatnya saling melengkapi untuk membangun cinta yang sehat dan bermakna dalam hidup kita.