PUASA DAN CINTA

Ditulis oleh Minou, Admin Noura

Yuk, bagikan artikel ini!

Cara Menghidupkan Cinta

 

<– Baca tulisan sebelumnya

 

Kita mengawali pembahasan ini dengan mengaitkannya dengan puasa, dan kita akan mengakhirinya juga dengan menghubungkannya dengan puasa. Menurut Imam Ghazali ada tiga level puasa, yaitu puasa orang awam, puasa orang khusus (khawwâsh), dan puasa orang paling khusus (khawwâshul khawwâsh). Meminjam logika Imam Ghazali tentang level puasa, cinta pun bisa dibagi dalam tiga level tersebut. 

Level paling dasar adalah cinta model awam. Cinta model awam ini, sebagaimana puasa model awam, fokusnya hanya pada aspek fisik atau formalitas. Yang penting syarat dan rukunnya terpenuhi. Dalam cinta, mungkin berarti, yang penting saya sudah antar jemput, sudah kasih kabar waktu mau tidur, sudah kirim pesan selamat pagi, sudah sering traktir makan. Semua itu adalah hal-hal materiel yang membuat seseorang merasa sudah mencintai sepenuh hati. Ini adalah level cinta awam. Bukan berarti belum ada cinta, tetapi cinta pada level ini masih perlu di-upgrade, karena jika berhenti di sini, cinta bisa jatuh pada jenis cinta yang eksploitatif atau penuh perhitungan.

Kalau bisa naik kelas, ada cinta pada level khawwâsh. Cinta pada level khawwâsh adalah cinta yang saling menguatkan, saling mendukung, cinta yang tidak hanya mementingkan diri sendiri. Pada level ini, cinta sudah mencakup komitmen: “Aku akan memberikan yang terbaik untukmu, dan engkau juga akan memberikan yang terbaik untukku. Kita akan saling dukung untuk mencapai tujuan bersama.” Meskipun, sudah ada komitmen yang kuat, cinta pada level ini masih ada unsur timbal balik, masih ada kesepakatan tidak menyakiti satu sama lain.

Level yang paling tinggi adalah cinta khawwâshul khawwâsh. Cinta pada level ini sudah tidak memikirkan timbal balik lagi. Fokusnya hanya kepada yang dicintai. Pikirannya hanya dipenuhi keinginan membuat yang dicintai bahagia, sejahtera, dan nyaman, tanpa peduli apakah cintanya dibalas atau tidak. Pada level ini, cinta sudah sepenuhnya ikhlas dan murni. Kalau objek cintanya adalah Allah, maka yang ada di pikirannya hanya Allah. Tidak peduli apa pun, fokusnya hanya pada Allah dan bagaimana mendekatkan diri pada-Nya. Imam Ghazali menggambarkan puasa pada level ini sebagai puasa yang hanya fokus kepada Allah. Ketika dia lalai dari Allah, dia merasa puasanya batal. 

Ini mengingatkan pada puisi Hafiz. Ada dua baris yang sangat menyentuh dari puisinya, ketika beliau mengeluh kepada Allah, 

Ya Allah, Hafiz sangat merindukan-Mu.

Hafiz sangat merindukan-Mu.

Pertanyaannya, apakah kita pernah mengeluh seperti itu kepada Allah? Ketika kita melihat gonjang-ganjing dunia ini, ketika kita mengalami kekecewaan, kekalahan, kesulitan, kegagalan—apa pun itu—apakah kita pernah merindukan Allah? Itulah yang dirasakan oleh Hafiz. Dunia mungkin terasa gelap, penuh kebencian, penuh dengan tindakan yang anti-kemanusiaan—pembunuhan, perusakan, kecurangan. Di tengah itu semua, kita seharusnya sudah mengeluh, “Ya Allah, aku merindukan-Mu,” kalau memang kita benar-benar cinta kepada Allah.[]

 

Bersambung ke tulisan berikutnya –>