Adab dan Etika Rasulullah
<– Baca tulisan sebelumnya
Adab dalam Bertutur Kata
Rasulullah memiliki cara bertutur yang jelas dan mudah diingat. Siapa pun yang mendengarkan kata-kata beliau dapat dengan mudah mengingatnya. Hal ini membuat hadis-hadis yang beliau sampaikan mudah dihafal. Gaya berbicara Rasulullah to the point, tidak bertele-tele, dan fasih, sehingga orang lebih mudah memahami dan mengingatnya.
Rasulullah juga selalu tersenyum saat berbicara. Senyumnya membuat orang merasa diterima dan lebih mudah menerima pesan yang disampaikan. Beliau tidak pernah mengutuk atau menghina orang lain. Dalam sebuah hadis, beliau menyatakan bahwa beliau diutus bukan untuk mengutuk, tetapi untuk menyebarkan kasih sayang. Oleh karena itu, mengikuti sunnah Rasulullah berarti tidak mengutuk atau menghina orang lain, meskipun tidak setuju dengan pendapat mereka.
Beliau kadang-kadang bergurau, tetapi tanpa berdusta. Menurut Imam Ghazali, bergurau tidak harus dengan membuat cerita yang tidak benar. Cerita yang jujur dan sederhana pun sudah bisa membuat orang tertawa. Rasulullah tertawa, tetapi tidak sampai terbahak-bahak. Ketawanya tidak keras atau lama, dan setelah tertawa, beliau segera kembali tenang.
Rasulullah mengajarkan bahwa berbicara itu penting, tetapi adakalanya diam lebih baik. Beliau lebih suka mendengarkan orang lain bicara. Ketika bertemu, sering kali kita merasa harus selalu berbicara, padahal sebenarnya, kita bisa mendengarkan lebih banyak. Kadang, kita tidak sabar menunggu teman kita berbicara dan segera memberikan nasihat, padahal mendengarkan dengan baik adalah adab yang mulia.
Adab Rasulullah dalam Menghadapi Masalah
Rasulullah mengajarkan prinsip-prinsip penting dalam menghadapi berbagai masalah, yaitu:
–Adil: Beliau selalu menegakkan keadilan. Jika ada yang bersalah, beliau tidak ragu untuk menegur, terlepas dari hubungan pribadi atau latar belakang orang tersebut. Sebaliknya, jika seseorang melakukan hal yang benar, beliau memberikan pengakuan. Keadilan adalah prinsip yang harus diutamakan.
–Menghindari Su’uzhan (Prasangka Buruk): Rasulullah mengajarkan untuk tidak berprasangka buruk terhadap orang lain. Kita harus mencari fakta dan bukti sebelum membuat penilaian. Pendekatan ini mendorong kita untuk tidak menuduh atau menyalahkan tanpa bukti yang jelas, sehingga menghindarkan kita dari konflik yang tidak perlu.
–Menghormati Kebenaran dan Ilmu: Beliau menghargai kebenaran dan ilmu pengetahuan. Dalam situasi konflik, penting untuk terbuka terhadap fakta dan data yang ada. Jika memiliki sudut pandang tertentu, kita harus bersikap kritis dan mau menerima informasi baru. Menghormati kebenaran berarti siap untuk belajar tanpa mengedepankan ego.
–Mengurangi Sumber Perselisihan: Rasulullah mengajarkan agar kita tidak memperbesar konflik. Alih-alih mengulang pernyataan yang dapat menyakiti orang lain, sebaiknya mencari cara untuk menyelesaikan masalah secara damai. Memberikan gelar buruk atau menciptakan citra negatif terhadap seseorang hanya akan memperburuk keadaan.
–Mengutamakan Persaudaraan: Rasulullah selalu mengedepankan prinsip persaudaraan, baik itu ukhuwah Islamiyah (persaudaraan antar-Muslim), ukhuwah insaniyah (persaudaraan sesama manusia), maupun ukhuwah bashariyah (persaudaraan sebagai makhluk ciptaan Allah). Dalam menghadapi perbedaan, kita sebaiknya mengedepankan sikap terbuka dan menerima, menghindari prasangka buruk, serta fokus pada hal-hal yang bisa mempererat hubungan antarsesama.
Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita lebih fokus pada perbedaan yang ada di antara kita, seperti latar belakang agama, organisasi, atau pandangan politik. Misalnya, ketika bertemu teman, kita mungkin mulai mengecek apakah agama mereka sama atau berbeda, atau bahkan mendalami perbedaan dalam kelompok agama yang sama. Namun, sebaiknya kita menempatkan persaudaraan sebagai prioritas. Mengingat bahwa kita semua adalah manusia, ini adalah identitas universal yang bisa menyatukan kita, terlepas dari perbedaan lainnya.
Etika Bertetangga Ajaran Rasulullah
Terkait dengan etika bertetangga, Rasulullah mengajarkan agar kita saling memberi salam. Ini adalah tindakan sederhana namun sangat berarti. Memberi salam tidak hanya menunjukkan rasa hormat, tetapi juga menciptakan suasana akrab dan saling menghargai. Rasulullah selalu menjadi orang pertama yang memberi salam, tanpa menunggu orang lain untuk melakukannya terlebih dahulu. Hal ini menunjukkan bahwa kita seharusnya tidak menunggu kesempatan, tetapi proaktif dalam menyebarkan kebaikan dan kedamaian di sekitar kita.
Rasulullah mengajarkan kepada kita pentingnya memperhatikan waktu saat bertamu atau menerima tamu. Beliau selalu berusaha untuk tidak mengganggu tuan rumah dengan perbincangan yang terlalu lama. Jika kita bertamu, sangat penting untuk mengetahui batas waktu agar tidak membuat tuan rumah merasa tidak nyaman. Misalnya, jika kita melihat tuan rumah menguap, melihat jam, atau menunjukkan tanda-tanda lelah, itu adalah isyarat bahwa sudah saatnya kita mengakhiri pembicaraan.
Dalam sebuah kisah, ketika Rasulullah menikahi Zainab, beliau merasa gelisah karena tamu-tamunya tidak kunjung pulang. Beliau mondar-mandir dan merasa risau, menunjukkan betapa pentingnya menjaga kenyamanan tamu dan tuan rumah. Jika kita berada dalam posisi sebagai tamu, sebaiknya tidak berlama-lama. Pastikan bahwa kita tidak mengganggu kegiatan tuan rumah.
Selain itu, Rasulullah juga mengajarkan agar kita tidak bertanya tentang keadaan orang lain secara berlebihan, terutama mengenai hal-hal yang mungkin sensitif. Tanyakanlah hal-hal yang umum dan tidak menyinggung perasaan. Pertanyaan yang terlalu detail, bisa jadi menyakiti atau menyinggung seseorang, terutama jika mereka berada dalam situasi yang sulit.
Rasulullah selalu menunjukkan perhatian kepada orang-orang di sekitarnya. Jika ada yang sakit, beliau pasti mengunjungi mereka. Begitu pula saat ada yang meninggal atau mengalami musibah, beliau tak segan untuk melayat. Selain itu, beliau juga mengajarkan untuk memaafkan dan ikut bergembira ketika tetangga merayakan kebahagiaan agar kita tidak merasa iri atau dengki terhadap kebahagiaan orang lain.
Dalam berinteraksi dengan tetangga, kita sebaiknya tidak memata-matai atau mengintip kehidupan pribadi mereka. Misalnya, bagi mahasiswa yang tinggal di kos, sering kali kita merasa penasaran dengan makanan yang dimakan teman atau status kendaraan mereka. Namun, penting untuk memahami bahwa setiap orang memiliki urusan pribadinya sendiri, dan kita tidak berhak mencampuri.
Kita juga tidak boleh mempersulit tetangga. Misalnya, tidak boleh menutup akses jalan, sehingga menghalangi tetangga untuk lewat. Hal ini tidak sesuai dengan adab bertetangga yang baik.
Selain itu, kita dilarang menyebar aib orang lain. Jika ada yang bercerita tentang keburukan tetangga, sebaiknya kita tidak mendengarkan atau ikut menyebarkan. Adab kita seharusnya menjaga rahasia dan keburukan orang lain. Jika kita mengetahui sesuatu yang kurang baik, simpanlah informasi itu dan tidak usah disebarluaskan.
Sikap empati juga penting. Jika kita mampu, bantulah tetangga yang sedang mengalami kesulitan. Berbicaralah dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang. Selain itu, cobalah untuk saling belajar satu sama lain. Dalam berinteraksi dengan tetangga, kita bisa bertukar pengetahuan. Saling belajar adalah salah satu cara untuk mempererat hubungan antartetangga.
Adab Bersahabat Ajaran Rasulullah
Rasulullah memiliki adab bersahabat yang luar biasa. Salah satunya adalah beliau sangat suka melakukan silaturrahim, bahkan kepada musuhnya sekalipun. Ketika berkunjung, beliau selalu menyapa dengan senyuman dan tidak menunjukkan sikap menghina, baik melalui kata-kata maupun tindakan.
Hindari sikap menakuti, membuat orang lain merasa takut. Dan jangan pula menakutkan, menceritakan sesuatu yang membuat orang lain khawatir. Ini adalah pesan Imam Ghazali. Misalnya, “Jangan datang ke sana nanti kamu dibantai,” adalah contoh dari sikap yang menakutkan.
Selain itu, kita juga tidak boleh merasa takut. Dalam Islam, prinsipnya adalah tidak ada kezaliman, dan kita tidak boleh membiarkan dizalimi. Oleh karena itu, keduanya harus bersih dari kezaliman. Kita juga harus saling memuliakan dan menghormati sahabat tanpa merasa sombong atau merendahkan diri di hadapan mereka. Sebaiknya, kita tetap setara dengan sahabat dan menjaga sopan santun.
Adab bersahabat yang dilakukan oleh Nabi, meskipun pada para sahabat beliau yang hakikatnya adalah murid-muridnya, menunjukkan betapa pentingnya menghormati dan menghargai satu sama lain.
Ada beberapa hal yang bisa kita berikan kepada sahabat kita. Rasulullah bersabda, “Senyummu pada saudaramu adalah sedekah.” Engkau menganjurkan seseorang melakukan yang makruf dan melarang dia melakukan yang mungkar itu juga sedekah.
Jika ada orang tersesat dan kita menunjukkan jalan, itu juga sedekah. Bahkan, jika engkau menyingkirkan batu, duri, atau tulang dari jalan, itu juga sedekah. Jadi, jika tiba-tiba melihat pengumuman di TV tentang orang yang bersedekah sekian miliar, dan kita merasa tidak punya uang, kita bisa keluar ke jalan, membersihkan batu-batu, dan duri-duri.
Menuangkan air dari ember kita ke ember saudara, juga termasuk sedekah. Jadi, ada banyak cara untuk kita berbuat baik kepada sahabat kita.
Adab terhadap Musuh Ajaran Rasulullah
Rasulullah memiliki cara khas untuk menghadapi orang yang memusuhi beliau. Beliau tidak mengumpat atau menghina. Ada kisah ketika umat Islam menang di Perang Badar, Rasulullah melarang umat Islam mengumpati musuh. Biasanya, setelah menang, orang-orang cenderung memaki yang sudah kalah, seperti dalam pertandingan tinju. Ini dilakukan oleh para sahabat, dan Rasulullah mengingatkan bahwa tindakan seperti itu tidak dibolehkan, karena tindakan itu akan menyakiti hati keluarga mereka yang masih hidup. Ini adalah khas adab Rasulullah.
Bahkan, beliau mendoakan musuhnya dengan sungguh-sungguh, seperti yang beliau lakukan ketika peristiwa di Thaif. Saat itu beliau ditolak berdakwah di sana, bahkan beliau dilempari batu dan dikejar-kejar. Saat itu beliau bermunajat, “Asal Engkau tidak murka padaku, sesulit apa pun yang aku alami, aku tidak peduli.” Hingga Allah mengutus para malaikat-Nya untuk mendatangi beliau. Malaikat Allah sudah mendengar munajat Rasulullah, dan jika beliau mau, Gunung Thaif akan ditimpakan ke mereka. Namun, jawabannya Rasulullah adalah, “Tidak. Justru aku mendoakan agar anak cucu mereka kelak menjadi orang yang paling beriman dan berkontribusi banyak untuk Islam.” Dan, itu terjadi.
Mendoakan musuh ini memang berat dan sulit. Karena mengumpat musuh lebih mudah. Tetapi, Rasulullah mencontohkan untuk mendoakan dengan tulus. Ini bukan sekadar mendoakan dengan nada merendahkan.
Jangan melaknat musuh, seburuk apa pun mereka. Ada hadis yang menjelaskan ketika seorang sahabat meminta, “Wahai Rasulullah, doakan orang-orang musyrik agar mereka ditimpa musibah, agar mereka hancur.” Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya aku tidak diutus sebagai pelaknat. Aku diutus untuk menyebarkan rahmat.” Ini adalah nasihat buat kita, untuk tidak menggunakan senjata dalam berdoa untuk menembak orang lain.
Adab Makan Ajaran Rasulullah
Rasulullah hanya makan makanan yang halal dan thayyib, yaitu yang sehat, bergizi, dan bermanfaat. Tidak semua yang halal boleh kita telan, tetapi kita mesti memastikan bahwa yang halal itu tidak menambah sakit. Misalnya, orang yang mengidap sakit diabetes, meskipun gula sifatnya halal tapi orang tersebut harus membatasi konsumsi gula, karena tidak thayyib baginya. Berarti ada makanan yang halal tetapi tidak thayyib.
Rasulullah, tidak makan sebelum lapar dan berhenti sebelum kenyang. Cara ini berbeda dengan kebiasaan kita yang sering kali makan bukan karena lapar, tetapi karena waktu. Meskipun mulai pukul 8 sampai pukul 12 mengemil terus, ketika tepat pukul 12.00 kita tetap makan. Alasannya karena waktu makan, bukan karena lapar. Padahal dalilnya, makan itu karena lapar.
Rasulullah juga berhenti makan sebelum kenyang. Kenapa sebelum kenyang? Karena kalau sudah telanjur kenyang, perut sudah penuh, untuk minum dan bernapas pun juga berat. Selain itu, kalau sampai kenyang, terlalu penuh itu berisiko, bagi orang yang mengidap penyakit lambung.
Rasulullah berdoa sebelum dan sesudah makan dan minum. Dan beliau makan dengan tenang, tidak tergesa-gesa menikmati setiap suapannya. Beliau lebih suka makan bersama orang banyak, ketimbang sendiri-sendiri.
Rasulullah tidak suka makan makanan yang masih panas. Beliau suka daging, tapi yang paling sering dikonsumsi kurma kering dan air, karena memang hidup beliau sederhana. Beliau suka sayuran labu, tomat, dan wortel, tetapi tidak suka bawang putih dan bawang merah, meskipun beliau tidak mengharamkan.
Rasulullah tidak pernah mencela makanan dan tidak pernah menyisakan makanan. Sabda beliau, “Banyak berkah pada makanan yang penghabisan.” Bahkan, beberapa riwayat menyebutkan Rasulullah menjilati tangan beliau supaya tidak ada sisa makanan yang terbuang. Beliau makan apa saja yang disediakan. Kalau tidak ada makanan, beliau akan puasa. Tapi, kalau kemudian ada sahabat yang mengajak beliau makan, Rasulullah tidak jadi berpuasa.
Begitulah adab makan yang dicontohkan Rasulullah. Maka, makan juga harus memperhatikan adab, jangan makan secara sembarangan dengan alasan yang penting kenyang.
Adab Tidur Ajaran Rasulullah
Tidur teratur adalah salah satu kunci kesehatan, dan Rasulullah mencontohkan cara tidur yang dapat mendukung keseimbangan tubuh dan jiwa. Beliau tidur lebih awal dan bangun di sepertiga akhir malam untuk shalat tahajud. Jika kita sulit untuk shalat malam, mungkin karena kebiasaan tidur yang terlalu larut atau kurang disiplin dalam tidur. Pada masa kini, orang memiliki kebiasaan memegang gadget sebelum tidur, sehingga menghambat waktu istirahatnya. Menghabiskan waktu dengan scrolling hingga larut malam bisa mengakibatkan kurangnya tidur dan sulit bangun pada pagi hari.
Rasulullah juga menganjurkan beberapa adab sebelum tidur, yaitu bersiwak (menyikat gigi), berwudhu, shalat sunnah, dan membaca beberapa ayat Al-Qur’an. Rasulullah biasa tidur dengan posisi miring ke kanan, yang juga diketahui memiliki banyak manfaat kesehatan.
Kesederhanaan Rasulullah
Rasulullah adalah contoh luar biasa dalam menjalani hidup yang sederhana dan minimalis. Hidup beliau jauh dari kemewahan atau kelebihan, seperti yang terlihat dalam banyak aspek kehidupannya. Dikisahkan bahwa beliau pernah mengganjal perutnya dengan batu karena sabuknya longgar akibat lapar karena tidak ada makanan. Tempat tidur beliau pun sangat sederhana, hanya berupa pelepah kurma yang dilapisi kulit kambing yang disamak—jauh dari kenyamanan spring bed yang mungkin kita nikmati sekarang.
Beliau juga tidak merasa rendah jika harus naik keledai atau membonceng orang di belakang. Mungkin kalau pada zaman ini, semisal kita menggunakan layanan ojek online, Rasulullah tentu tidak akan merasa rendah atau malu. Beliau suka menjenguk orang yang sakit, mengantar jenazah, dan menghadiri undangan dari siapa pun.
Ketika sandalnya rusak, Rasulullah memperbaikinya sendiri; jika ada bajunya yang sobek, beliau menambalnya. Gaya hidup minimalis Rasulullah ini benar-benar kontras dengan zaman sekarang, di mana sering kali kita merasa perlu mengikuti tren dan mengganti barang-barang seperti sepatu atau pakaian yang masih layak pakai hanya karena alasan mode.
Rasulullah juga sangat egaliter dalam kesehariannya. Beliau tidak segan membantu pekerjaan rumah tangga istri-istrinya, memberikan salam pada anak-anak, dan ketika duduk bersama, beliau memilih posisi yang setara dengan orang-orang di sekelilingnya, bukan menonjol atau berada di tempat yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa beliau bukan hanya mencontohkan kesederhanaan, tetapi juga kesetaraan dan kepekaan terhadap orang lain.
Meneladani Rasulullah
Jasser Auda dalam bukunya Maqâshid Al-Syarî‘ah membahas tentang meneladani Rasulullah. Memang, kita semua tentu ingin meneladani beliau. Tetapi, penting untuk kita sadari adanya perbedaan dalam karakteristik hidup Rasulullah sebagai nabi, rasul, dan sekaligus manusia yang hidup di kalangan masyarakat Arab pada zamannya.
Perilaku Rasulullah sebagai nabi dan rasul, yang berkaitan langsung dengan wahyu dan risalah kenabian, adalah bagian dari sunnah yang harus kita ikuti. Namun, ada juga kebiasaan-kebiasaan beliau sebagai manusia biasa dan sebagai orang Arab pada masanya. Misalnya, kesukaan beliau memakai baju berwarna hijau, walaupun sering juga mengenakan baju berwarna putih. Kalau kebetulan kita menyukai warna hijau, kita bersyukur karena sesuai dengan warna kecintaan beliau. Namun, jika kita lebih menyukai warna lain, misalnya merah, bukan berarti kita kurang meneladani beliau atau kurang utama.
Contoh lainnya adalah tradisi berpakaian Rasulullah sebagai orang Arab pada masa itu, yaitu memakai jubah. Kita di Indonesia mungkin memakai sarung atau pakaian tradisional lain. Jika kita merasa nyaman mengenakan jubah, boleh saja. Namun, orang yang memilih tidak memakai jubah, bukan berarti lebih rendah derajatnya. Ini adalah kebiasaan Rasulullah sebagai manusia dan budaya Arab pada zamannya.
Selain itu, ketika kita berbicara tentang sunnah, tidak semua aspek kehidupan Rasulullah harus dianggap sebagai sesuatu yang seharusnya kita ikuti. Ada yang sifatnya kemanusiaan, adat kebiasaan, atau bahkan kegemaran pribadi beliau. Contohnya, Rasulullah makan menggunakan tiga jari. Ini sesuai untuk jenis makanan tertentu, tetapi kalau kita makan makanan yang berkuah, tentu lebih sulit menerapkannya.
Terkadang, ada yang berpikir bahwa dia lebih melaksanakan sunnah karena mengenakan pakaian seperti Rasulullah atau memanjangkan janggut. Namun, kebiasaan-kebiasaan ini bukanlah tolok ukur utama kemuliaan seseorang. Kalau ada yang kesulitan memanjangkan janggut karena faktor genetik misalnya, tidak berarti dia lebih rendah nilainya. Dan kemuliaan di sisi Allah tidak ditentukan oleh faktor eksternal seperti panjangnya janggut atau gaya berpakaian. Semua itu hanyalah aspek tradisional atau kebiasaan Rasulullah sebagai seorang manusia, bukan aspek yang harus menjadi tolok ukur utama meneladani beliau.[]