Oleh Hanna Ernestha Ramadhani
“Aku melangkah ke lorong—satu-satunya area rumah yang tidak kusukai dan tidak kupercayai, zona kelabu sejuk antara ranahku dan dunia luar.” –The Woman in The Window, hlm. 76
Dilansir dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, fobia berarti ketakutan yang sangat berlebihan terhadap benda atau keadaan tertentu yang dapat menghambat kehidupan penderitanya. Beberapa jenis fobia yang umum, seperti ketakutan terhadap ketinggian, kegelapan, maupun tempat sempit, mungkin sudah sering kita dengar atau bahkan alami sendiri. Namun, bagaimana dengan agoraphobia? Pernahkah anda menemui kasus tersebut pada seseorang?
Agoraphobia sendiri adalah istilah fobia yang menggambarkan gangguan kecemasan yang dialami penderita saat berada di tempat terbuka—di luar area yang dianggap sebagai zona nyamannya. Umumnya gangguan ini terjadi setelah penderita mengalami kejadian yang traumatis dan menyebabkan serangan panik lebih dari satu kali. Sebagai akibatnya, penderita pun akan terkena serangan panik yang cukup serius setiap kali harus keluar rumah atau dari area yang mereka anggap aman.
Premis menarik nan segar yang ditawarkan oleh novel bernuansa film noir karya A.J. Finn ini dijamin cocok untuk hampir semua kalangan pembaca usia dewasa, terutama pencinta genre thriller. Meski agoraphobia mungkin masih terdengar asing di kalangan pembaca awam yang kurang familier dengan istilah-istilah psikologi, novel ini masih dalam taraf mudah untuk dicerna. Setelah membaca beberapa lembar halaman saja, pembaca akan mulai memahami apa sebenarnya ketakutan dan problematika utama yang dialami pemeran utama.
Karakter sang tokoh utama, Anna Fox, yang tidak stabil dan terluka akibat ketakutannya pada tempat terbuka, akan menimbulkan keraguan pada pembaca dalam bagaimana harus menyikapinya, bagaikan diombang-ambing dalam roller coaster perasaan—kesal dan jengkel pada tindakan Mrs. Fox yang cenderung gegabah dan impulsif, yang secara melambat berubah menjadi simpati, kemudian ragu dan merasa tertipu, sebelum kembali menjadi bersimpati.
Seakan merasakan penderitaan seorang pasien agoraphobia, setiap kali dihadapkan pada situasi dimana Anna Fox harus keluar dari area amannya, pembaca akan turut merasa gugup dan waswas. Penulis menyajikan dengan tepat dan lugas setiap detail yang dirasakan Mrs. Fox saat terpaksa keluar rumah, dan perasaan frustrasinya karena ketakutan itu sendiri—membuktikan prosedur riset yang dijalankan dengan cermat pada saat penulisan buku.
Namun pada akhirnya, rasa takut terhadap tempat terbuka itulah yang memercikkan kekuatan pada diri tokoh utama. Apa yang awalnya adalah sebuah kelemahan yang melelahkan dan membuat Anna Fox merasa kehilangan jati dirinya, kemudian menjadi semacam “breakthrough” untuk sembuh dan kembali membuka lembaran baru dalam hidup.
Lebih istimewanya lagi, misteri dan tanda tanya ‘digoreng’ secara slow burn alias perlahan dan tidak terburu-buru, menuntut kehati-hatian pembaca untuk selalu cermat membaca setiap detail, agar tidak terjebak oleh pengalih perhatian dan melewatkan clue yang diselipkan menuju klimaks cerita. Meski alur menjadi terkesan lambat, segalanya makin menarik menuju akhir cerita hingga rasanya sulit untuk meletakkan novel ini sebelum halaman terakhir selesai dibaca.
Bonusnya, bagi pencinta film noir lawas, The Woman in the Window juga bisa dikatakan sebagai surganya referensi. Penulis, yang sengaja menebar berbagai kutipan film yang memberikan foreshadowing bagi alur cerita, berhasil membuat pembaca makin terbawa dalam teka-teki untuk menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Tak jarang penulis menyelipkan kutipan di saat yang pas dengan skenario tertentu, membuat suasana tegang ala film noir makin kuat. Tak heran apabila membaca novel ini terasa bak menyaksikan parade film noir—sebuah perayaan akan teror dan rasa takut yang dibumbui kenangan pahit dan kehilangan.
Dapatkan buku The Woman in the Window di Mizanstore Official!
Referensi:
Finn, A.J., (2018). The Woman In The Window. Jakarta Selatan: Penerbit Noura Books.