Belajar Memaknai Hidup ala Viktor Frankl, Sang Penyintas Kamp Konsentrasi Nazi

Ditulis oleh Faisal Javier Anwar, Penulis Lepas

Yuk, bagikan artikel ini!

Sekitar delapan puluh tahun yang lalu, tepatnya pukul sebelas pagi ketika Nazi semakin mendekat ke Wina, Konsulat AS memberitahukan Viktor Frankl jika permohonan visanya untuk migrasi ke AS telah disetujui. Dengan rasa senang, Frankl bergegas menuju gedung konsulat hanya untuk mengetahui jika visa tersebut hanya berlaku untuk dia saja.

Frankl pun dihadapkan pada pilihan sulit, apakah ia harus bermigrasi seorang diri ke Amerika Serikat, di mana ia punya kesempatan hidup aman dan melanjutkan embrio penelitian terbarunya di bidang psikologi—logoterapi, atau ia tetap tinggal di Austria bersama dengan orang tuanya dengan risiko dijebloskan ke kamp konsentrasi Nazi, yang banyak memakan korban orang-orang Yahudi.

Bimbang tak tahu pilihan apa yang harus diambil, ia pun pulang ke apartemen tempat ia tinggal bersama kedua orang tuanya. Frankl, yang saat itu menjadi kepala departemen neurologi sebuah rumah sakit Yahudi di Wina, melihat sekeping batu marmer tergeletak di meja apartemennya. Kepingan marmer itu ditemukan ayahnya dari reruntuhan sinagoga terbesar Wina yang saat itu baru diruntuhkan oleh kelompok Nazi. Ayahnya membawa pulang karena kepingan marmer tersebut membuat sebuah huruf Ibrani yang mewakili satu di antara sepuluh Tuhan. Karena penasaran, Frankl pun bertanya perintah yang mana dan ayahnya pun menjawab: “Hormati ayah ibumu agar lestari hidupmu  di tanah yang diberikan Tuhan.” Frankl kemudian memutuskan untuk tetap tinggal bersama kedua orang tuanya dan membiarkan visanya melayang.

Beberapa bulan setelahnya, Gestapo menutup rumah sakit tempatnya bekerja dan ia dan seluruh keluarganya pun dikirim ke kamp konsentrasi. Ia berhasil selamat hingga perang berakhir, tetapi ibunya meninggal di kamar gas Kamp Auschwitz, kakaknya meninggal di sebuah tambang batubara dekat Auschwitz, dan ayahnya meninggal di dekatnya akibat sakit pneumonia. Setelah meninggalkan jasad ayahnya, bukannya sedih ia justru merasa amat bahagia. Ia berada di dekatnya menjelang ajalnya, dan berhasil meringankan penderitaan sang ayah akibat sakit pneumonia dengan menyuntikkan morfin yang ia selundupkan ke dalam kamp.

Tak ada yang tahu pula jika keputusannya untuk tetap tinggal di Austria membuahkan hasil yang manis baginya. Dengan dijebloskannya ke kamp konsentrasi Nazi, ia pun mendapatkan ‘laboratorium’ yang berguna untuk menguji dan membuktikkan penelitiannya tentang logoterapi yang membuat karirnya semakin meningkat. Pengalamannya tersebut kemudian ia tulis dalam buku berjudul Man’s Search for Meaning yang telah diterbitkan dalam 49 bahasa dan 190 edisi.

Pendobrak Ilmu Psikologi

Menurut psikolog keluarga Alissa Wahid, buku Frankl saat pertama kali diterbitkan membawa sebuah paradigma baru dalam ilmu psikologi. Sebelum buku tersebut terbit, ilmu psikologi lebih terfokus pada tema pemenuhan nafsu, yang menurut Alissa, merupakan ciri khas aliran Freudian.

“Sementara si Frankl melihat, ‘Enggak ah, kayanya enggak cuma nafsu, tapi kebermaknaan yang dicari. Orang itu mencari kebermaknaan hidupnya kok,’” jelas perempuan yang juga Koordinator Jaringan GUSDURian itu.

Alissa menjelaskan, jika hidup yang berorientasi pada pencarian kebahagiaan bagi Frankl rentan membawa manusia pada jalan yang tersesat. Maka seharusnya manusia bagi Frankl harus menentukan orientasi hidupnya untuk mencari makna hidup.

“… udah manjat tinggi-tinggi sampai atas tangga, baru sadar tangganya bersender ke tembok yang salah. Nah ini juga yang (ditekankan) sama si Frankl, bahwa bukan happiness-nya, happiness itu cuma konsekuensi,” kata Alissa. “Kalau kamu mencari kebermaknaan hidup, maka hidupnya akan kaya, kamu akan bisa mendapatkan kebahagiaan dari prosesnya, bukan dari dapat ini dapat itu,” lanjutnya.

Konsep mencari makna hidup ini semakin diperkuat oleh pengalaman Frankl selama di kamp konsentrasi Nazi. Pembuktian ini yang semakin membuat buku ini populer, karena buku ini menjadi salah satu buku yang menggambarkan kehidupan psikologis manusia di salah satu tempat terkejam dalam sejarah.

“Jadi kualitatif banget membangun teorinya dari pengalaman dia, apa yang dia lihat dari teman-teman tawanan sekaligus sipirnya, atau penjaga-penjaganya yang posisinya benar-benar penguasa melawan yang ditindas,” jelas Alissa.

Tidak hanya berguna dalam menyusun konsep baru, pengalaman yang Frankl alami juga membantunya untuk merintis sebuah terapi psikologi yang didasarkan pada pencarian makna hidup, yakni logoterapi.

“Logo artinya meaning atau kebermaknaan, jadi dia mengembangkan terapi yang didasarkan pada pencarian makna dari kehidupan. Jadi intinya dia meyakini bahwa setiap orang yang dicari secara fundamental itu kebermaknaan hidup,” ujar Alissa.

Logoterapi menurut Alissa menjadi solusi bagi orang-orang yang mengalami gangguan psikologis karena ketidakmampuan mereka menentukan orientasi hidup yang tepat. Orang-orang seperti itu yang kemudian diarahkan menjalani logoterapi untuk menemukan makna hidup mereka yang sebenarnya.

Konsep mencari makna ini bagi penulis buku Filosofi Teras: Filsafat Kuno, Panduan Hidup Zaman Now, Henry Manampiring sejalan dengan filsafat stoisisme yang ia dalami dan tulis dalam bukunya tersebut. Filsafat stoisisme menekankan pentingnya manusia untuk hidup selaras dengan reaitas eksternal di sekitarnya sehingga kebahagiaan datang kepada mereka, bukan justru mengejar kebahagiaan itu sendiri.

“Nah selaras itu bagaimana? Kalau mereka (filsuf Stoic) lihat manusia punya dua tugas, yang pertama menggunakan nalar,” kata Henry.  “Jadi manusia itu hidupnya dengan akal budi, itu yang membedakan dengan binatang. Kalau itu enggak dipakai, enggak heran kalau kita marah-marah, sengsara, stres sendiri,” lanjutnya.

Selain menggunakan nalar, tugas lain manusia menurut filsuf Stoic adalah hidup harmoni dengan orang-orang di sekitar. Dengan demikian, Stoisisme mengajarkan manusia agar tidak hidup egois.

“Bahkan di tengah kesulitan ini jangan lupa ada orang lain. Kadang-kadang kita dalam penderitaan (atau) dalam kesusahan, kita jadi narrow minded gitu kan, ya. Menurut orang Stoic,kalau kita memakai nalar dengan baik, menjaga hubungan kita dengan org lain, kita akan mencapai hidup baik itu, nah hidup bahagia itu cuma efek sampingnya,” ujar Henry.

Belajar Merespon Keadaan

Dengan mencari makna hidup (will to meaning), manusia diharapkan dapat tahu bagaimana harus bersikap ketika merespon keadaan yang tidak menguntungkan. Alissa mencontohkan apa yang dialami oleh Frankl ketika berada di dalam kamp konsentrasi.

“Misalnya seperti yang dialami (Frankl) di kamp konsentrasi, istrinya hamil dibunuh, kakaknya, (dan) orang tuanya semuanya meninggal, itu masih ada kemerdekaan hakiki seseorang yaitu memilih respons. Kita tidak bisa mengendalikan semua hal yang terjadi di sekitar kita, tapi kita punya kemerdekaan hakiki untuk menentukan kita mau ngapain,” jelas Alissa.

Maka will to meaning bukan berarti lantas manusia merendahkan ekspektasinya atau bahkan meniadakannya sama sekali. Akan tetapi will to meaning mengajarkan manusia bagaimana merespon keadaan yang dihadapi.

“…kamu punya ini, tinggal bagaimana kamu merespon situasi di sekitar kamu ini dengan sehat,” kata Alissa. Ia kemudian mencontohkan pengalaman anaknya baru-baru ini.

“Kayak kemarin anak saya mau masuk kuliah, saya bilang, ‘Enggak bisa kamu mengendalikan kamu diterima atau tidak, yang bisa kamu kendalikan adalah kamu sekarang ini mau ngapain. Percayalah kamu sudah punya semua di dalam dirimu untuk menghadapi apapun yang akan datang, dan kamu akan bisa mengambil pilihan yang terbaik,’” ujarnya.

Sedangkan menurut Henry, kebebasan untuk merespon keadaan juga berkaitan dengan pandangan filsuf Stoic yang menganggap bahwa keadaan eksternal manusia tidaklah mengganggu manusia, tetapi opini yang ditimbulkan dari respon terhadap keadaan eskternal itu yang menentukan manusia.

“Jadi kalau di pandemi ini kita secara kontekstual kita merasa kecewa, frustasi, marah, jangan bilang itu karena pandeminya, … tapi kita punya ekspektasi seperti apa dari peristiwa yang terjadi ini sampai-sampai kita marah-marah dan kecewa, dan menurut orang-orang Stoic, yang bikin emosi negatif ini karena kita enggak rasional,” jelasnya.

Menghadapi Quarter-Life Crisis

Henry menyebut dalam filsafat Stoic terdapat konsep dikotomi kendali, yakni antara hal-hal di luar kendali manusia, dan hal-hal di bawah kendali manusia yang meliputi opini dan pemaknaan. Terkait fenomena quater-life crisis yang biasa menimpa anak muda usia 20-30 tahun, Henry menyebut salah satu faktor berpengaruh ialah kehadiran media sosial.

“Seringkali orang itu terjebak memberi terlalu banyak value pada hal di luar kendali. Contohnya medsos itu. Media sosial (terutama) komentar orang diberi porsi terlalu banyak padahal itu di luar kendali kita. Nah itu bentuk irasionalitas dalam filsafat stoic, ‘Kenapa lo memberi perhatian terlalu banyak pada hal di luar kendali, akhirnya lo stres sendiri,’” jelasnya.

Daripada meluapkan fokus pada hal-hal di luar kendali, mereka yang terserang quater-life crisis disarankan untuk lebih baik fokus pada kemampuan mereka sendiri.

“… what can I do, yang dibawah kendali saya saat ini apa? Apa yang bisa saya lakukan, apa yang bisa saya kerjakan, apa yang bisa saya katakan, seharusnya fokusnya ke situ, bukan orang lain,” lanjut Henry.

Sedangkan menurut Alissa Wahid, terjebak dalam fase quater-life crisis merupakan hal sia-sia karena pada umur yang lebih tua manusia akan menghadapi lebih banyak krisis. Ia mencontohkan dirinya, yang mendapat makna baru di usia menjelang kepala empat dengan mendirikan GUSDURian setelah prihatin dengan diskriminasi yang masih terjadi pada kaum minoritas di Indonesia.

“Kemudian saya merasa, ‘Ah, gila perjuangan bapakku belum selesai.’ Itulah yang mengubah hidup saya sekarang, umur berapa? 38 (tahun), artinya 25 tahun masih permulaan, bersiap-siap lah ada banyak belokan,” cerita Alissa.