“Pemberontakan melawan teknologi dan peradaban adalah pemberontakan yang sesungguhnya.” —Theodore Kaczynski
Alam dan teknologi tampak seperti dua makhluk yang saling memunggungi. Di antara kaki mereka terdapat retakan panjang yang membuat keduanya terpisah. Alam berada di dunia yang dipenuhi rerimbunan hutan perawan, sungai-sungai jernih, dan sesekali terdengar pekik riang seekor tupai yang gembira menemukan kenari. Sementara, teknologi berada di dunia yang dipenuhi komplek gedung beton bertingkat, jalan raya beraspal, dan sesekali terdengar derum ekskavator dan desing mesin gergaji.
Mungkin banyak yang mengira jurang pemisah antara alam dan teknologi berlangsung ketika masa revolusi Industri terjadi, padahal—menurut saya—hal itu sudah terjadi jauh-jauh sebelumnya, tepatnya ketika homo sapiens berhenti menjadi masyarakat pemburu-pengumpul (masyarakat nomaden) dan memutuskan untuk menetap di suatu wilayah tertentu (menjadi masyarakat sedenter) untuk bertahan hidup. Pada saat menetap itulah teknologi demi teknologi pun ditemukan: pertanian, peternakan, alat tukar, tulisan, vaksin, sistem irigasi, mesin tekstil, internet, AI, dan lain sebagainya. Menetap artinya membutuhkan wilayah dan rumah. Pohon-pohon ditebang, lahan-lahan digarap, rumah-rumah dibangun.
Lahirnya suatu teknologi selalu menumbalkan alam. Hal tersebut berlangsung terus menerus, berulang-ulang, dari tahun ke tahun, sehingga menimbulkan asumsi bahwa teknologi selalu menyisakan jelaga yang menyesakkan. Teknologi selalu merugikan alam, bahkan mungkin untuk manusia itu sendiri—itulah mengapa muncul kaum Luddite yang menghancurkan alat tenun dan para anarko sindikalis yang merusak mesin-mesin produksi. Teknologi adalah biang keladi atas segala kerusakan yang terjadi di muka bumi dan memang sudah selayaknya harus dihancurkan.
Namun, benarkah alam dan teknologi tidak bisa menjalin hubungan yang manis dan romantis seperti layaknya kisah Sid dan Nancy? Apakah mereka memang ditakdirkan untuk selalu berseteru? Mungkinkah, pada suatu masa, entah itu kapan, hubungan alam dan teknologi akan seiring sejalan tanpa ada yang menyakiti atau tersakiti?
Barangkali, ya, barangkali, itulah alasan Peter Brown menulis novel “The Wild Robot”, yang kemudian dijadikan film oleh Dream Works Studio, yaitu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut lewat sebuah kisah robot yang, karena suatu badai yang amat hebat, terdampar di sebuah alam liar. Robot itu bernama Roz.
Roz adalah robot cerdas humanoid—memiliki kepala, tangan, dan kaki—yang memiliki kemampuan untuk belajar apa pun yang ingin ia pelajari: belajar berjalan seperti kepiting saat ingin mendaki bukit sebelum ombak menghantam, belajar mendeteksi bahaya dan menghindarinya, belajar memahami cara berkomunikasi dengan hewan, bahkan belajar menjadi orangtua yang baik saat ia harus merawat seekor anak angsa bernama Brightbill.
Pada mulanya, tujuan Roz diciptakan adalah untuk membantu kehidupan manusia. Namun, karena terdampar di sebuah alam liar, tujuan tersebut berubah. Ia tidak lagi ada untuk membantu kehidupan manusia, melainkan untuk membantu kehidupan hewan-hewan yang terdapat di alam liar. Roz menjadi robot liar.
“Ceritanya menjadi lebih metaforis dan filosofis,” tulis Peter Brown dalam artikelnya yang berjudul “The Wild Robot Lives!”, artikel yang berisi tentang proses kreatifnya saat menulis The Wild Robot.
Ya, saya sepakat, The Wild Robot adalah novel anak yang sangat metaforis dan filosofis. Dalam pembacaan saya, Peter Brown terlihat seperti ingin mengatakan kepada pembaca bahwa hubungan harmonis antara alam dan teknologi mungkin saja bisa terjadi.
Kisah soal teknologi vs alam memang sudah banyak, entah itu film atau buku. Semua kisah tersebut hampir memiliki gambaran yang stereotip: teknologi adalah musuh yang berbahaya dan alam adalah korban yang tidak berdaya. The Wild Robot, memberikan gambaran yang berbeda.
The Wild Robot seperti ingin memberikan pelajaran kepada kita semua bahwa, secanggih apa pun teknologi, haruslah mau beradaptasi dengan alam. Hal tersebut tergambarkan secara metaforis dan filosofis lewat sosok Roz. Pada saat ia hadir di alam liar, semua hewan menjauhinya dan menganggapnya sebagai monster menakutkan yang sangat berbahaya. Namun, ketika Roz mulai mau beradaptasi dan selalu berusaha menjadi bagian dari alam liar tersebut, semua hewan mulai mendekatinya, menyayanginya, bahkan rela berjuang bersama untuk menolongnya dari serangan marabahaya.
Barangkali, jika teknologi mau bersikap rendah hati dan mau beradaptasi dengan alam, asumsi teknologi sebagai musuh bagi alam mungkin bisa segera hilang, dan kutipan yang menjadi awal tulisan ini tidak akan pernah diucapkan oleh Theodore Kaczynski.
Salam,
Noor H. Dee
Editor buku anak Noura Publishing.