Nourans, pernahkah kalian membayangkan kematian sebagai pesta kelulusan? Sebuah perayaan atas hidup yang dijalani penuh makna, bukan akhir yang menakutkan?
Dalam kehidupan sehari-hari, kita terbiasa merayakan “kepulangan”: pulang kampung saat Lebaran, pulang dari tanah suci setelah berhaji, atau pulang ke rumah usai bekerja. Semua membawa rasa syukur, ketenangan, dan kebahagiaan. Lalu, mengapa kita tidak memaknai kematian sebagai kepulangan yang lebih agung—pulang ke hadirat Allah?
Melalui buku Psikologi Kematian, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat mengajak kita melihat maut bukan sebagai kehancuran, melainkan sebagai momen spiritual yang menakjubkan—sebuah tahapan hidup yang seharusnya disambut dengan tenang dan bahagia.
Dari Ketakutan Menjadi Kesadaran
Kematian memang sebuah kepastian, tetapi rasa takut akan ketidakpastian setelahnya sering kali membayangi kehidupan. Buku ini tidak memaksa kita untuk berhenti takut, namun membantu kita berdamai dengan kematian—dengan cara mengenalnya lebih dekat. Ketika yang misterius menjadi akrab, kecemasan pun perlahan luruh.
Komaruddin Hidayat, penulisnya, mengupas beragam pandangan filsafat dan keagamaan tentang maut, termasuk bagaimana tokoh seperti Nietzsche hingga Abu Al-Faraj Ar-Raghib melihat kematian sebagai pintu ke kehidupan abadi. Perspektif ini memperluas cakrawala kita: bahwa maut bukanlah titik akhir, melainkan proses transisi menuju “rumah sejati” kita.
Maut sebagai Jalan Naik, Bukan Turun
Ada ungkapan yang menyentuh dalam buku ini: “Kematian bukanlah kehancuran dan perjalanan turun, melainkan jenjang naik.” Ibarat anak ayam yang harus meninggalkan cangkangnya untuk menjadi makhluk yang sempurna, manusia pun harus melewati gerbang kematian untuk menuju kehidupan yang lebih tinggi derajatnya.
Dalam Islam, konsep husnul khatimah (akhir yang baik) bukan semata tentang detik-detik sebelum ruh dicabut. Ia juga tentang bagaimana seseorang menjalani hidupnya. Seorang mukmin yang hatinya penuh cinta kepada Allah tidak akan melihat maut sebagai monster mengerikan, melainkan sebagai pintu gerbang bertemu Sang Kekasih.
Bekal Terbaik untuk “Perjalanan Pulang”
Sebagaimana setiap perjalanan membutuhkan persiapan, begitu pula kematian. Penulis menekankan pentingnya memiliki tabungan amal, keluarga saleh, dan ilmu yang bermanfaat. Ketiganya adalah warisan yang akan terus “hidup” bahkan setelah jasad tak lagi bernyawa.
Ketika dunia mulai ditinggalkan perlahan—kenikmatan fisik tak lagi bisa dinikmati—kita akan bersyukur jika memiliki bekal spiritual yang cukup. Maka tak heran jika kematian digambarkan dalam buku ini seperti seseorang yang pulang dari perjalanan panjang, disambut dengan wajah teduh dan senyuman, bahkan mungkin oleh malaikat Izrail sendiri.
Kematian Adalah Cermin Kehidupan
Dalam buku ini penulis dengan sangat indah mengajak kita untuk menjadikan setiap hari sebagai momen kelahiran dan kematian. Hari di mana kita mensyukuri hidup sekaligus memaknai bahwa kita tengah mendekat ke titik akhir. Tapi titik itu, jika diisi dengan amal, doa, dan cinta, akan bercahaya. Kita pun bisa menjemputnya dengan bahagia, bukan takut.
Sebagaimana orang yang bersiap berangkat haji dengan pakaian ihram putih, hati tenang, dan niat yang tulus—begitu pula seharusnya kita memandang kematian. Sebuah upacara kepulangan, di mana ego yang palsu ditanggalkan, dan jati diri yang paling murni bersiap menemui Tuhannya.
Nourans, jika selama ini kematian terasa sebagai ancaman, mungkin saatnya kita membalik perspektif. Melalui buku Psikologi Kematian (Edisi Spesial 20 Tahun), Komaruddin Hidayat menuntun kita untuk melihat maut dengan mata yang baru: bukan lagi momok, tapi momentum. Momentum untuk hidup lebih baik, lebih bermakna, dan lebih siap untuk pulang.
[ PESAN BUKUNYA DI SINI ]
Komaruddin Hidayat. (2025). Psikologi Kematian (Edisi Spesial 20 Tahun). Noura Books.
https://nourabooks.co.id


