Search
Close this search box.

MERAYAKAN TANGAN TUHAN DALAM FILM-FILM BESUTAN MIZAN: Dari Laskar Pelangi Hingga Rumah Masa Depan (Bagian 1)

Ditulis oleh Minou, Admin Noura

Yuk, bagikan artikel ini!

Haidar Bagir

(CEO Mizan Group)

 

Laskar Pelangi adalah pintu yang dibukakan tangan Tuhan sendiri. Betapa tidak? Kalau bukan karenanya… Mana mungkin Mizan, meski dianggap besar dalam industri perbukuan, akan masuk cerlang dunia perfilman? Investasi yang tidak kecil, keterasingan dari gemerlap selebritas artis-artisnya dan simbol budaya spectacle peradaban modern?

 

Kisahnya bermula dari Andrea Hirata, yang “ngotot” masterpiece-nya – buku Laskar Pelangi – difilmkan. Waktu itu, tahunnya mungkin sekitar 2005 atau 2006, si “Ikal” mengajak saya ketemu untuk membicarakan keinginannya itu. Di sebuah kafe, yang saya sudah lupa nama dan lokasinya, di Bandung. Saya pun datang, agak ogah-ogahan, dan lebih karena rasa hormat saya pada penulis legendaris ini. Kami pun berbincang. Andrea dengan penuh semangat menyampaikan mimpinya, saya (hanya) dengan hormat menyimaknya. Nyaris tanpa keyakinan bisa mewujudkan mimpi ini. Sampai langkah saya meninggalkan cafe itu. Tapi, tampaknya rekan-rekan saya di Mizan lebih bersemangat dari saya. Ada Gangsar Sukrisno (CEO Bentang Pustaka, imprint Mizan yang bermarkas di Yogyakarta dan penerbit buku Laskar Pelangi), Putut Widjanarko (VP Mizan Group, yang belakangan menakhodai divisi film Mizan Productions dan brand Mizan lain dengan bendera Bentang Pictures dan Millennia Pictures), dan beberapa rekan  lain. Hingga, saya tak ingat persis ceritanya, kami ketemu dengan dua dedengkot Miles Film, production house paling bergengsi waktu itu. Kami waktu itu mendapatkan kabar bahwa rumah produksi ini pernah rasan-rasan ingin mengangkat Laskar Pelangi ke layar lebar. Nyatanya pada Mbak Mira Lesmana dan Mas Riri Riza, kami menemukan dua orang yang hangat menyambut ide kami, sedang mereka adalah artisan-artisan dengan sentuhan kreatif dan artistik yang menghidupkan kegelapan dan dinginnya gedung-gedung sinema nasional dengan karya-karya legendaris mereka. Maka, tanpa banyak kesulitan kami semua bersepakat untuk mewujudkan “tembakan jarak jauh” memroduksi film Laskar Pelangi. Apalagi, nyaris tanpa dinyana, ada seorang sahabat muda yang dengan antusias mau patungan biaya produksinya – yang sama sekali tak terhitung kecil bagi modal produksi film pada masa itu. Namanya, Bakhtiar Rahman.

 

Hingga akhirnya film Laskar Pelangi  membahana dunia industri perfilman Indonesia, dengan 4,7 juta penonton! Terbesar dalam sejarah perfilman Indonesia saat itu, jauh melampaui Ayat-ayat Cinta, yang meraup hampir 3 juta jumlah penonton sebelumnya. Lebih dari itu, Laskar Pelangi bisa dibilang telah mengangkat industri perfilman lokal ke suatu level yang tak pernah dicapai sebelumnya. Bahkan, itulah awal dari memantapnya situasi film Indonesia sebagai “tuan rumah di negeri sendiri” – yang sebelumnya nyaris hanya menjadi slogan. Sejak itu film Indonesia makin mampu bersaing dengan film-film Hollywood. Yang blockbuster sekali pun.

 

Maka, kalau bukan tangan Tuhan sendiri, siapa lagi yang bisa membukakan pintu selebar itu buat Mizan? Yang, sebesar apa pun, awalnya “hanyalah” sebuah inisiatif industri literasi. Yang, betapa pun juga, terhitung sebagai industri liliput di tengah roda industri-industri gigantik dalam kancah konsumerisme peradaban modern ini? ( bersambung )