Di pintu masuk kuil Dewa Apollo di Delphi, Yunani Kuno, terdapat tulisan: Gnothi seauton, kai meden agan, Kenalilah dirimu sendiri, dan jangan berlebihan.
Dalam tradisi Islam dikenal pula ungkapan yang serupa: Man ‘arofa nafsah faqad ‘arafa rabbah, Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.
Juga dalam tradisi Tiongkok/Taoisme, Kebebasan tertinggi manusia adalah ketika kita tahu batas, yang setara pula dengan imbauan untuk tidak berlebihan, tidak bersikap ekstrem. Dengan kata lain, bersikaplah moderat dalam hal apa pun.
Ini menarik, karena dalam tradisi yang berasal dari tempat dan kultur yang berbeda, ternyata memiliki satu napas yang serupa: Kenali diri, supaya pada akhirnya kita bisa menemukan “sosok” Tuhan.
Sayangnya, napas ini makin hari kian luntur. Karenanya, kita bahkan sulit membedakan mana sosok “sang diri”, dan mana sosok yang dibentuk oleh masyarakat, budaya, gelar, status sosial, pekerjaan, maupun kekayaan. Maka, misalnya, hinaan pada fisik, status sosial, kekayaan, gelar, tak jarang kita pahami sebagai hinaan terhadap sosok diri. Pun sebaliknya. Padahal, bukan.
Lalu, siapakah “sosok diri”? Apakah jasad ini—yang kelak hancur dimakan kecoak? Apakah ia perasaan yang kerap berubah—hari ini bahagia, esok gelisah? Apakah ia status sosial yang bisa terangkat atau terjatuh kapan saja?
Buku “Perjalanan Menuju Aku” karya Pardamean Harahap ini hadir untuk menjawab pertanyaan kita tentang siapa sebenarnya “sosok sang diri”. Melalui metode Self-Inquiry, sang penulis mengajak kita semua untuk menyelidiki lebih dalam tentang siapa sejatinya sosok sang diri ini, supaya kelak bisa, pada akhirnya, menemukan sosok Tuhan Yang Real. Bukan sosok tuhan yang telanjur dipersepsikan sebagai tuhan. Bukan Tuhan yang dibentuk oleh persepsi sosial. Bukan Tuhan yang diwarisi dari rutinitas keagamaan. Tapi, Tuhan yang dialami langsung, dalam keheningan yang lahir dari kesadaran akan sosok sang diri.
Melalui buku ini, penulis tampaknya ingin mengingatkan kita kembali bahwa, barangkali, mengenal Tuhan tidak harus selalu dimulai dari langit. Tapi kadang, ia justru dimulai dari lorong paling gelap yang ada di dalam, yakni diri kita sendiri.