Search
Close this search box.

Mengatasi Cemas Karena COVID-19 ala Penulis Buku Happiness Inside

Ditulis oleh ,

Yuk, bagikan artikel ini!

Nimas (23) sedang berada di kantornya menyiapkan materi ajar bagi murid-muridnya, suatu pagi di pertengahan bulan Maret. Tidak seperti biasanya, pengajar bahasa Inggris di salah satu lembaga kursus di Surabaya itu menggunakan masker.  Ia sedang menderita batuk berat.

Ia memutuskan tetap masuk karena hasil pemeriksaan dokter tidak menunjukkan tanda ia terjangkit COVID-19. “Emang sih sempat ke dokter, tapi difoto thorax pun bersih, nggak ada apa-apanya paru-paruku,” ceritanya saat dihubungi melalui Whatsapp, Selasa (14/4/2020) pagi.

Namun, teman yang duduk di sebelahnya  terlihat cemas setiap kali ia batuk. Kemudian, temannya itu pindah tempat duduk menjauh darinya. Setiap kali keduanya saling meminjamkan barang, temannya itu pun selalu menggunakan tisu untuk menghindari sentuhan langsung dengan barang dari Nimas.

“Lebih parah lagi, bilang gini, ‘Kamu kalau batuk nggak usah ke sini, pulang aja sana. Nyebar virus.’ Eventho udah kujelasin kalau thorax-ku bersih, ini batuk gara-gara radang tenggorokan,” tambahnya.

Tidak hanya teman di sebelahnya, teman-teman sekantornya yang lain pun tak kalah cemasnya. “Kalau aku abis pegang kenop pintu, pasti ada yang ngebersihin kenop pintunya. Sampai disuruh cek suhu tubuh 3 kali di kantor, saking mereka nggak percaya,” jelasnya.

Teman-teman sekantornya pun kemudian memaksanya periksa kembali ke rumah sakit. Hasilnya pun sama seperti penjelasan dokter sebelumnya. Namun, karena ia bercerita kecemasan teman-teman sekantornya, dokter pun akhirnya memberi surat keterangan sakit agar ia diberi waktu istirahat selama 2 hari.

Tidak hanya teman-teman Nimas yang merasakan parno atau cemas karena penyakit itu. Survei yang dilakukan Asosiasi Psikiatri Amerika (APA) menunjukkan, sebanyak 48 persen responden atau hampir dari setengah populasi Amerika Serikat merasa cemas akan terjangkit COVID-19, dan sebanyak 40 persen responden cemas akan sakit parah ataupun meninggal karena terjangkit penyakit itu.

Lembaga amal yang bergerak di kesehatan mental di Inggris, Mind, menaruh perhatian pada gangguan mental akibat virus corona ini. “Kebanyakan kecemasan muncul karena rasa khawatir akan sesuatu yang belum mewujud dan menunggu sesuatu terjadi—virus corona menimbulkan kecemasan seperti itu tapi di skala yang besar,” ujar Rosie Weatherley, juru bicara Mind, dilansir dari BBC.

‘Merangkul’ Kecemasan

Gobind Vashdev, trainer penyembuhan trauma dan juga penulis buku Happiness Inside dan 99 Wisdom, berbagi resep mengatasi kecemasan akibat COVID-19. Hal dasar yang perlu diketahui, cemas bisa dikategorikan dalam emosi sebagaimana penjelasan Gobind. Ia menyebut, emosi sendiri luas cakupannya. Emosi tidak hanya meliputi perasaan marah ataupun sedih, tetapi juga rasa senang. Maka tentu, emosi bisa dikategorikan dalamnya.

“Emosi adalah karunia, adalah bentuk komunikasi diri kita kepada kesadaran kita. Emosi ada yang rileks, tenang, ada (juga) yang tinggi. Nah, yang tinggi itu ya (meliputi) apapun yang membuncah: marah, kesel, excitement, dan sebagainya,” ujarnya saat sesi Instagram Live “Bahagia dalam Situasi Apa Pun”, Senin (13/4/2020) malam.

Baginya, yang paling penting ialah kita menyadari adanya rasa emosi dalam diri kita. Sadar membuat kita merasakan emosi itu. “Di India, yang bahaya bukanlah sedih (atau) marah, tapi ketika anda tidak sadar (sedang sedih atau marah),” lanjutnya.

Sehingga, menurutnya penting bagi kita untuk mengelola emosi masing-masing, agar tidak berlebihan. “Kalau emosi tinggi, kita terbajak emosi, kesadaran terbajak emosi. Manusia akan tumpul jika terbajak emosi,” jelasnya.

Untuk mengatasi cemas maupun stres berlebih karena COVID-19 serta efeknya pada berbagai sektor, Gobind membagikan tipsnya. Pertama, kita bisa ‘mengamati’ napas kita.

“Kalau kita mengamati napas, kita akan slow, tenang,” jelasnya. Jika emosi berlebihan menyerang, maka otak akan berdenyut kencang, sehingga kita bernapas berlebihan yang menyebabkan pada kondisi hiperventilasi. Satu-satunya cara yang bisa dilakukan tentu dengan mengintervensi ritme napas.

Kedua, kita bisa mengelola emosi dengan cara ‘memeluk’-nya. Ia memberi analogi bongkahan es yang jatuh ke laut.

“Jadi, setiap emosi itu dipeluk, itu seperti bongkahan es jatuh ke laut, laut tidak menolak, tetapi ‘memeluk’ sehingga es cair,” lanjutnya.

Ia pun memberikan tips teknik mengatur napas untuk ‘memeluk’ emosi.  “Saat Anda menarik napas, Anda bilang, ‘Saya merasakan kemarahan,’ ketika melepas napas, katakan, ‘Saya merawat kemarahan,’” jelasnya.

Ketiga, Gobind juga menyarankan kita untuk berolahraga untuk melepaskan stres dalam diri kita, tidak harus dalam intensitas berat. Jika tidak ada waktu, Anda juga bisa menggunakan teknik tapping.

“Ketika stres, jangan makan, tapi lakukan gerak, atau kalau nggak bisa gerak (tapi) perasaan tidak nyaman, tapping (sentuh) di bagian tubuh Anda (yang merasa tidak nyaman), Anda ketuk, nah itu akan lepaskan (perasaan tidak nyaman),” jelasnya.

Saring Informasi

Gobind juga menekankan pentingnya menyaring informasi terkait wabah COVID-19. Menurutnya, kita perlu membatasi informasi terkait COVID-19, apalagi terkait info-info yang menurutnya negatif.

“Kita kurangi data yang masuk lewat mata dan telinga, ketika kita nonton berita, setiap hari kan kita di rumah, berita-beritanya bikin cemas, bikin takut. Jadi kecemasan, ketakutan, kegelisahan meningkat banget karena datanya luar biasa,” sarannya.

“Kalau mau mengikuti perkembangan, 1 kali sehari cukuplah, atau batasi 1-2 jam itu udah lebih dari cukup,” tambahnya.

Dalam buku Happiness Inside yang sudah terjual sebanyak 46.000 eksemplar tersebut juga dijelaskan pentingnya untuk menyaring informasi. Ada satu kisah yang dikutip Gobin dalam sub-bab “Tubuh dan Pikiran Apa yang Anda Inginkan?” yang relevan dengan sarannya untuk menyaring informasi, yakni kisah zaman Yunani Kuno tentang seorang pria yang berjumpa Socrates, dan ingin berbagi cerita yang baru saja ia dengar tentang teman Socrates. Socrates kemudian memberikan Ujian Saringan Tiga Lapis, untuk menyaring apa saja yang si pria ingin katakan.

Saringan pertama ialah kebenaran, untuk memastikan apakah yang akan disampaikan si pria benar adanya. Saringan kedua ialah kebaikan, untuk memastikan apakah yang akan disampaikan si pria adalah sesuatu yang baik. Saringan ketiga ialah kegunaan, untuk memastikan apakah cerita si pria nantinya akan berguna bagi Socrates. Si pria pun tidak lulus dari tiga jenis saringan itu, sehingga Socrates pun balik bertanya pada si pria, “Jika apa yang ingin Anda beri tahukan kepada saya tidak benar, tidak juga baik, bahkan tidak berguna untuk saya, mengapa Anda ingin menceritakannya kepada saya?”

Pentingnya menyaring informasi juga sejalan dengan himbauan WHO dalam pedoman Mental health and psychosocial considerations during the COVID-19 outbreak. WHO menghimbau untuk meminimalkan informasi tentang COVID-19 yang dapat membuat gelisah, serta memilih sumber informasi yang terpercaya. “Kurangi menonton, membaca, atau mendengarkan berita tentang COVID-19 yang menyebabkan Anda merasa gelisah atau stres; carilah informasi hanya dari sumber terpercaya sehingga Anda dapat mengambil langkah-langkah praktis untuk menyiapkan rencana dan melindungi Anda dan orang-orang yang Anda sayangi,” tulis WHO dalam pedoman tersebut. (fja)