Mengapa Kejawen Identik dengan anti-Nilai-Nilai Keislaman?

Ditulis oleh Minou, Admin Noura

Yuk, bagikan artikel ini!

Sebagai falsafah hidup bagi masyarakat Jawa, kejawen dapat dipahami sebagai panduan dalam menjalani kehidupan melalui berbagai medium seperti seni, budaya, ritual, hingga tradisi. Hingga saat ini, kerap kita temui adanya praktik ritual dan tradisi kejawen yang dilakukan secara turun-temurun. Kejawen telah mengakar kuat dalam sendi kehidupan masyarakat Jawa, sehingga keberadaannya pun berdampingan dengan ajaran agama yang dianut oleh masing-masing individu. Meskipun demikian, pandangan tentang kejawen yang dianggap berseberangan dengan ajaran Islam masih menjadi perdebatan. 

 

Fahruddin Faiz, seorang intelektual Muslim dan penulis Mati Sebelum Mati Buka Kesadaran Hakiki, memberikan pandangannya dalam mengungkap kejawen dari perspektif Islam. Menyadur dari salah satu episode Ngaji Filsafat yang membahas tentang falsafah Jawa dalam pandangan Islam, bagi Fahruddin Faiz, kejawen justru dapat menjadi ekspresi spiritualitas masyarakat Jawa yang selaras dengan ajaran Islam, begitupun sebaliknya. Sebab, penyebaran agama Islam di Jawa yang dilakukan oleh para Wali tidak melalui “intervensi” yang menggusur peradaban Jawa, tetapi mengakomodasi dan mengadaptasinya dengan mengisi nilai-nilai keislaman dalam wajah kebudayaan tersebut. Meminjam istilah Clifford Geertz, Islam masuk ke Jawa dengan cara dialog integrasi dan akomodasi. 

 

Mengacu pada penjelasan tersebut, dapat kita pahami bahwa secara umum, kejawen sebagai falsafah Jawa selaras dengan nilai-nilai keislaman. Namun, Fahruddin Faiz juga menambahkan bahwa aliran kejawen itu sangat banyak, sehingga, jika ada yang menganggap kejawen itu berseberangan dengan ajaran Islam, itu merujuk pada aliran kejawen yang memiliki cara berpikir “isi meninggalkan wadah”. Fahruddin Faiz menggunakan analogi tersebut untuk menggambarkan beberapa aliran kejawen yang hanya mengadopsi hakikat Islam (kebatinan) tanpa diikuti dengan syariatnya. Akibatnya, mereka yang belum mengetahui dan keliru dalam memahami kerap menggeneralisasi bahwa semua aliran kejawen itu anti dengan nilai-nilai keislaman.

 

“Isi tanpa wadah, dia enggak bisa eksis. Allah tanpa alam semesta, ya kehadirannya tidak ter-detect. Makanya ada hadis itu ‘kan, “Aku ciptakan alam semesta agar Aku dikenal.” Kalau enggak ada alam, enggak ada manusia, enggak ada apa-apa, enggak ada yang mengenali. Nah, itu logika wadah dan isi.”

– Fahruddin Faiz 

 

Sebagai kesimpulan, kejawen sebagai tradisi spiritual Jawa tidak dapat digeneralisasi sebagai aliran yang berseberangan dengan ajaran Islam. Sebab, falsafah hidup masyarakat Jawa yang sangat kaya dengan kemanusiaan, keilahian, dan sangat memperhatikan makna hidup batiniah, justru sejalan dengan nilai-nilai keislaman. Bagi Nourans yang tertarik untuk mempelajari lebih dalam dan menyelami makna dari ragam kearifan Jawa, Mati Sebelum Mati Buka Kesadaran Hakiki karya Fahruddin Faiz bisa menjadi pilihan! 

Dapatkan bukunya di Mizanstore Official!

[PESAN BUKUNYA DI SINI]

 

 

 

Sumber: 

Ngaji Filsafat bersama Fahruddin Faiz: “Falsafah Jawa dalam Pandangan Al-Qur’an”

https://www.youtube.com/watch?v=oIRrfWbJUuM&list=PLTwuTUzzI6XFD1FzkihSxDWolTNu6xzVE&index=2