Oleh: Mamluatul Bariroh
Kepala Sekolah Raudlatul Athfal Nurul Huda II Pakandangan Barat, Bluto Sumenep.
Tidak (akan) ada sekolah untuk menjadi orangtua. Padahal profesi orangtua dalam mengasuh anak berat, rumit dan berkelanjutan. Sebagian orangtua belajar pengasuhan dengan metode learning by doing. Ketika dia berhadapan dengan masalah anak, dia belajar lalu mempraktikannya. Saat ini begitu melimpah sumber pendidikan tentang anak. Tinggal memanfaatkan. Di antaranya membaca buku kocak ini.
Buku ini menjelaskan banyak hal baru yang menentang mainstream pengasuhan konvensional. Tidak mau menggurui, Amalia Sinta, penulis buku ini, berterus terang bahwa dirinya bukan spikolog anak. Hanya seorang ibu yang menjalani peran pengasuhan dua anak. Pernah mendambakan jadi supermom ketika masih punya anak pertama. Lalu stres ketika lahir anak kedua. Idealismenya menjadi ibu yang sempurna – yang biasanya secara konvensional didambakan banyak ibu-ibu – secara sadar dia tinggalkan.
Dia tidak lagi menginginkan rumah selalu rapi, dandanan salalu memukau, anak tidak rewel dan segala hal yang biasa didambakan banyak ibu. Alasannya sederhana. Semua itu hanya membuat dirinya tidak bahagia. Anak-anaknya tidak berkembang optimal karena dikekang oleh banyak teguran dan aturan. Relasi dia dengan anaknya kurang harmonis sebab dia tampil sebagai sosok pengekang, bukan pemberi kebebasan (hlm 15).
Dia tahu itu setelah banyak belajar dari buku, bertukar pikiran di grup media sosial, ikut beragam pelatihan dan juga mempraktikannya di rumah. Hasil eksperimen pengasuhannya tersebut dia tulis ulang. Diposting di fesbuk. Banyak orang yang terinspirasi. Sebagian mengusulkan agar kumpulan postingannya ini dibukukan. Harapan mereka terkabul dengan hadirnya buku ini.
Kendatipun Sinta bukan psikolog, dia merumuskan tulisannya ini dari beragam referensi yang tentu saja ilmiah dan valid. Kelebihannya, dia membalut tulisanya ini dengan narasi pengasuhan yang dia lakukan setiap hari. Jadi ibu-ibu pembaca pasti merasa bahwa yang Sinta alami sama dengan kasus yang mereka alami. Sinta juga memberikan solusi yang teruji, setidaknya dalam skala anak-anaknya sendiri.
Misalnya, anak kecil yang egois tidak mau meminjamkan mainannya kepada orang lain, lumrahnya dirayu agar memberikan mainannya atau akan dicap sebagai anak yang kikir. Padahal menurut Sinta, saat itu anak sedang belajar hak milik dan belajar mempertahankan yang menjadi hak miliknya. Menurut Sinta, banyak remaja ketika dibuli tidak melawan, salah satu alasannya, karena dia tidak memiliki konsep diri, hak milik, dan gairah untuk mempertahankannya (hlm 34).
Menurut Sinta, kesalahan fatal orangtua adalah ketika menyamakan pola pikir anak dengan pola pikir dirinya. Akibatnya, anak dipaksa untuk berubah dan mengerti dengan cara yang biasa lakukan kepada sesama orang dewasa. Hal ini tidak saja gagal. Namun juga akan ada proses penganiayaan terhadap karakter si anak.
Sinta mencontohkan kakak yang sering mengganggu adiknya. Lalu orangtua memarahinya karena dianggap tidak menyayangi anaknya sendiri. Orang tua yang memarahi anak yang tidak mau makan makanan mahal. Memarahi anak yang tidak bermain dengan mainan mahal malah lebih memilih bermain dengan mainan kotor lagi murah. Parahnya lagi, kata Sinta, ketika orang tua memilah milih anaknya bermain dengan anak kaya, pintar dan anak dari golongan atas, bukan sebaliknya.
Bagi Sinta, proses pengasuhan yang seperti itu benar-benar menegasikan fakta bahwa anak masih belum mengerti formulasi konseptual nan verbal. Dia belum mengerti konsep kasih sayang, presepsi kaya miskin, dan arti makanan mahl-murah atau mainan canggih. Mereka bertindak dengan polos. Selama bagi mereka menyenangkan, mereka akan bergerak ke arah sana. Begitu anak dipaksa dengan pola pikir dewasa, intimidasi atas kepolosan jiwa mereka terjadi. Tumbuh di jiwa mereka rasa tertekan, polarisasi hitam putih yang justru mengkerdilkan perkembangan mental mereka (hlm 86).
Sinta mengajak agar orang tua untuk senantiasa belajar mendidik anak. Bukan mengasuh secara natural. Apalagi instingtif. Sinta juga menuliskan kekagumannya terhadap ibu-ibu kuat yang tidak mengeluh mendidik anak kendatipun tidak punya suami. Penderitaan istri mendidik anak dia tulis berdampingan dengan penderitaan suami mencari nafkah. Tujuannya agar suami istri paham tensi penderitaan keduanya dan jika ada persoalan tidak saling menyalahkan. Tapi saling membantu.
Buku ini enak dibaca. Begitulah genre tulisan curhat. Sinta memang menulis ini untuk pembaca fesbuk yang senang dengan tulisan ringan, renyah, ada canda namun berisi. Buku ini juga di-layout persis dengan tampilan di fesbuk: ada tagar; tulisan besar nyembul di tengah hamparan teks; dan penggunaan kata-kata asing yang lumrah diucapindonesiankan. Bahkan beberapa lembar hanya berisi tulisan besar-besar dengan font menarik. Bahwa Sinta benar-benar banyak baca buku, ini terlihat dari beberapa kutipan nama ilmuwan yang dia sertakan dalam tulisannya. Selamat membaca.[]