Description
“Bila sudah mencari di dalam dan belum menemukan kebahagiaan, itu artinya kita menggalimya kurang dalam. Buku ini bagaikan batu asah yang menajamkan alat penggali dalam menemukan kembali kebahagiaan sejati.”
–
“Agama adalah Mengenal Allah (ma’rifatullah). Mengenal Allah adalah berlaku dengan akhlak (yang baik). Akhlak (yang baik) adalah menghubungkan tali kasih sayang (silaturrahim). Dan Silaturrahim adalah memasukkan rasa bahagia di hati sesama kita.” (Rangkaian hadis yang dijalin oleh Syaikh Yusuf Makassari)
Buku ini merupakan hasil pengalaman dan renungan tentang Islam sebagai agama cinta dan kebahagiaan, yang dapat membantu pembaca utnuk merenung lebih jauh tentang makna hidupnya, dan juga menjadi penolong di sepanjang jalan kita—anak manusia—untuk meraih kebahagiaan sejati yang merupakan dambaan kita semua.
Tentang Haidar Bagir
Haidar Bagir lahir di Solo, 20 Februari 1957. Ia meraih S-1 dari Jurusan Teknologi Industri ITB (1982), S-2 dari Pusat Studi Timur Tengah, Harvard University, AS (1992), dan S-3 dari Jurusan Filsafat Universitas Indonesia (UI) dengan riset selama setahun (2000-2001) di Departemen Sejarah dan Filsafat Sains, Indiana University, Bloomington, AS.
Nama penerima tiga beasiswa Fulbright ini selama beberapa tahun berturut-turut masuk dalam daftar 500 Most Influential Muslims (The Royal Islamic Strategic Studies Centre, 2011). Di samping itu, ia memperolah beberapa great dan award nasional dan internasional untuk beberapa aktivitasnya.
Selain sibuk mengurus yayasan dan menjadi presiden direktur sebuah rumah penerbitan, ia telah menulis buku bestseller: Buku Saku Tasawuf; Buku Saku Filsafat Islam; Buat Apa Shalat; Surga di Dunia, Surga di Akhirat; Risalah Cinta dan Kebahagiaan; Islam Tuhan Islam Manusia; Epistemologi Tasawuf; Semesta Cinta: Pengantar kepada Pimikiran Ibn ‘Arabi; Belajar Hidup dari Rumi; Mereguk Cinta Rumi; dan beberapa judul buku lain. Ia juga masih aktif memberikan ceramah keagamaan dan pendidikan di sejumlah tempat; menjadi pembicara di sejumlah seminar keilmuan, khususnya kajian tentang filsafat, tasawuf, dan pemikiran Islam kontemporer.
Ia juga pendiri Gerakan Islam Cinta, anggota Dewan Internasional Compassionate Action International, dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Amal Khair Yasmin. Haidar juga adalah di antara pendiri sekaligus Ketua Yayasan Lazuardi Hayati yang mengembangkan jaringan sekolah Islam di berbagai wilayah di Indonesia.
Ia juga selama 9 (Sembilan) tahun mengasuh sebuah acara radio mingguan bertajuk Lite is Beautiful di Lite FM.
@Haidar_Bagir
www.haidarbagir.com
Keunggulan Buku
– Ditulis oleh ahli di bidang tasawuf, Dr. Haidar Bagir.
– Bahasa mudah dipahami pembaca.
Resensi
Endorsment
“Dalam, … sekaligus praktis … bagi upaya menggapai kebahagiaan.”
–Prof. Dr. Komaruddin Hiadayat, Penulis buku bestseller Psikologi Kematian
“Amat penting disimak orangtua, pendidik, dan siapa saja, agar memprioritaskan pendidikan akhlak yang berbasis cinta demi kebahagiaan hidup sejati sebagai bentuk kesuksesan manusia tingkat tinggi.”
–Munif Chatib, Penulis buku bestseller Sekolahnya Manusia dan Orangtuanya Manusia
“Bila sudah mencari di dalam dan belum menemukan kebahagiaan, itu artinya kita menggalinya kurang dalam. Buku ini bagaikan batu asah yang menajamkan alat penggali dalam menemukan kemballi kebahagiaan sejati.”
Cover Kuping Depan
Buku ini merupakan renungan penulis tentang cinta dan kebahagiaan. Ia diharapkan dapat membantu pembaca untuk merenung lebih jauh tentang makna hidupnya, dan juga menjadi penolong di sepanjang jalannya untuk meraih kebahagiaan sejati yang merupakan dambaan semua orang.
Buku ini juga diharapkan bisa memberikan gambaran kepada pembacanya bahwa sesungguhnya, secara genuine, Islam adalah agama yang berorientasi cinta-kasih. Dan, meski tidak kurang penting, hukum harus ditempatkan dalam konteks orientasi cinta-kasih yang memang berada di jantung agama ini.
Kenyataannya, seperti diungkapkan oleh para fenomolog agama, sesungguhnya agama Islam tak kalah berorientasi cinta (eros oriented) dibanding agama Nasrani. Hal ini diperkuat oleh Annemerie Schimmel yang mendapati bukti-bukti mengenai hal ini dari karya para sufi di sepanjang sejarah pemikiran Islam. Ketidaktepatan pemahaman ini telah menimpa bukan hanya orang-orang di luar Islam, melainkan juga kaum Muslim sendiri.
Hanya dengan melakukan pergeseran paradigm—dari agama yang melulu berorientasi hukum ke agama berorientasi cinta—ini, Islam akan dapat menampilkan wajahnya sebagai “rahmat bagi semesta alam”.
— Gobind Vashdev, Heartworking, Penulis buku bestseller Happiness Inside
Review Buku
Apakah Islam itu? Apakah ia adalah nama dari suatu agama dan kehadirannya hanyalah sekumpulan hukum-hukum yang mengatur cara hidup pemeluknya?
Buku dengan cover lukisan gelombang berpadu dengan beberapa warna ini mengungkap rahasia kesuksesan untuk menjadi manusia yang berbahagia dengan perspektif mata batin diri kita sendiri.
Pada bagian pertama, ada suatu kisah menarik yang dinukil oleh Haidar Bagir dari seorang psikolog Dr. Victor Frankl. Seorang laki-laki tua datang dengan membawa kesedihan luar biasa karena baru saja ditinggal mati oleh istrinya yang sudah menemaninya selama puluhan tahun, mendengar hal itu Victor Frankl bertanya kepada laki-laki yang malang itu, “Coba bayangkan apa yang terjadi kalau istri Anda yang selalu bersama Anda tiba-tiba harus menerima kenyataan pahit bahwa Anda mati meninggalkannya? Apakah istri Anda tidak mengalami duka yang luar biasa seperti Anda?”, mendengar penuturan Victor, laki-laki itu terhenyak sambil berkata, “Jika itu yang terjadi maka istri saya akan menanggung kesedihan yang luar biasa karena saya tinggalkan.”. “Nah,” kata Frankl “kematian istri Anda lebih dulu dari Anda dan kesepian yang Anda rasakan sekarang sebagai akibatnya, sesungguhnya bermakna bahwa Anda telah menyelamatkan istri Anda dari mengalami kesedihan luar biasa seperti yang Anda rasakan sekarang.”Mendengar ungkapan Frankl membuat laki-laki tua tersebut memiliki makna positif yang tak terkira besarnya, ia pun meninggalkan Frankl dengan membawa kebahagiaan yang luar biasa. Kisah di atas merupakan wujud dari pergeseran sudut pandang tentang makna kebahagiaan.
Bagian kedua, Haidar mulai mengenalkan bahwa Islam adalah agama cinta, karena Nabi membawa misi cinta ketika menyebarkan Islam, tidak jarang Haidar memaparkan beberapa tafsir Al-Qur’an yang secara tekstual dipahami oleh orang lain sebagai azab atau murka Tuhan justru menjadi bentuk kasih sayang Tuhan, seperti contoh menafsirkan ayat “kekallah mereka dalam neraka”, bermakna bahwa yang kekal adalah nerakanya, bukan siksanya. Karena jika dimaknai siksa orang-orang yang berbuat maksiat adalah selamanya dalam neraka akan berlawanan dengan sifat Tuhan yang merupakan Maha Pengasih dan Penyayang.
Pada bagian ketiga, pembaca digiring oleh Haidar untuk memahami bahwa sumber dari seluruh kehidupan adalah berasal dari Tuhan, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa Agama adalah mengenal Allah (ma’rifatullah). Mengenal Allah adalah berlaku dengan akhlak (yang baik). Akhlak (yang baik) adalah menghubungkan tali kasih sayang (silaturrahim). Dan silaturrahim adalah memasukkan rasa bahagia di hati saudara (sesama) kita. (Syaikh Yusuf Makassari)
Yang tak kalah penting untuk diulas dalam buku ini adalah tentang peperangan dan kekerasan dalam Islam. Islam, yang diidentifikasikan sebagai agama kekerasan atau teroris adalah salah, sesungguhnya islam adalah eros oriented atau berorientasi cinta. Para mufassir memaknai istilah jihad bukan semata-mata untuk maksud perang atau pertempuran. Al-Quran menyebut jihad sebagai mutlak dan tidak terbatas, jihad adalah sesuatu yang pada dasarnya baik. Hal yang sama tak berlaku untuk qital (perang), pun perintah dalam Al-Qur’an qital dibatasi oleh kondisi tertentu seperti agar tidak melampaui batas, siap memaafkan dan mendahulukan perdamaian.
Menurut saya buku ini bagus dibaca khusus untuk umat Islam yang kesulitan menggali kebahagiaan dalam diri sendiri, karena Islam adalah agama rahmah (cinta), maka sudah semestinya sebagai Muslim haruslah menjadi rahmah kepada semua makhluk Tuhan.
Sumber: http://www.perempuanmembaca.com/2019/03/review-buku-risalah-cinta-dan.html
***
Di era kontemporer ini, Islam banyak dikaji dan dianalisis oleh berbagai kalangan. Islam sebagai sebuah ilmu (Islamologi), menjadi tren baru pembahasan dan penguraian tentang suatu ajaran. Terutama oleh cendekiawan Barat dan orientalis, Islam menjadi sebuah objek yang merupakan sisi eksotisme umat manusia. Terlebih lagi, beberapa kelompok Muslim radikal memperlihatkan berbagai aksi kebrutalan yang mengatasnamakan agama (Islam), Islam pun menjadi sorotan.
Seiring aksi terorisme dan kekerasan yang mengatasnamakan agama, Islam menjadi lebih sering dipandang secara stereotipe bahwa ia adalah agama yang mengajarkan kekerasan. Lebih dari itu, umat Islam di Barat yang minor secara kuantitas banyak dijauhi oleh orang non-Islam yang awam terhadap Islam yang genuine. Perlakuan negatif pun sering kali didapatkan oleh umat Islam yang minor tersebut karena pencitraan negatif dari para teroris—meskipun politisasi terorisme oleh Barat menjadi sorotan tajam.
Padahal, Islam adalah agama yang secara terang-terangan membawa misi rahmatan li al-‘alamin. Islam adalah rahmat (kasih sayang) bagi seluruh alam, bukan ancaman yang menakutkan bagi seluruh alam. Hal itu sejalan dengan uraian yang dituliskan oleh Haidar Bagir dalam karyanya yang berjudul “Risalah Cinta dan Kebahagiaan”. Secara tegas, Haidar Bagir dalam buku tersebut menyatakan bahwa Islam bukanlan agama yang menekankan kekerasan atau kebrutalan, melainkan agama cinta dan kebahagiaan.
Pernyataan bahwa Islam bukanlah agama kebrutalan juga dikuatkan oleh para fenomenolog agama, bahwa sesungguhnya agama Islam itu tak kalah berorientasi cinta (eros oriented) dibanding agama Nasrani. Argumentasi ini pun juga diperkuat oleh seorang cendekiawan Barat, Annemarie Schimmel, yang mendapati bukti-bukti mengenai hal ini dari karya para sufi di sepanjang sejarah pemikiran Islam.
Sebagaimana fungsi agama sebagai pelipur lara dan pemuasan dahaga spiritualitas serta siraman ruhani, Islam juga menjadi tempat kembali bagi pemeluknya untuk merengkuh cinta dan kebahagiaan. Artinya, Islam menjadi tujuan cinta dan kebahagiaan sekaligus mengajarkan ajaran cinta dan kebahagiaan pula. Hal itu sebagaimana rangkaian hadis yang dijalin oleh Syaikh Yusuf Makassari bahwa agama (Islam) adalah mengenal Allah. Mengenal Allah adalah berlaku dengan akhlak yang baik. Akhlak yang baik adalah menghubungkan tali kasih sayang (silaturrahim). Sementara itu, silaturrahim adalah memasukkan rasa bahagia di hati sesama umat manusia (hlm. 3).
Dari rangkaian hadis yang dijalin Syaikh Yusuf tersebut mengindikasikan bahwa Islam merupakan agama yang mengedepankan cinta—dengan akhlak baik—dan peduli terhadap persoalan sosial—dengan silaturrahim—dengan nuansa pemuasan spiritualitas—dengan mengenal Tuhan. Artinya, Islam secara genuine merupakan ajaran yang penuh dengan cinta. Sementara itu, cinta merupakan sumber kebahagiaan—tanpa cinta, kebahagiaan adalah kemustahilan.
Dalam kajian tasawuf dan sufisme, kebahagiaan sepenuhnya terletak pada kelancaran perjalanan cinta. Kodrat manusia adalah damai dalam kasih sayang Tuhan. Dengan demikian, kepuasan cinta (kebahagiaan) merupakan proses pergi-pulang dari Tuhan kepada Tuhan.
Manusia berjungkir balik mengejar pencapaian dan kesenangan duniawi—menumpuk harta, meraih kekuasaan, menangguk popularitas—sebenarnya adalah ketersamaran terhadap kerinduan. Manusia merasa akan mendapatkan kasih sayang yang didambakan jika telah memiliki semuanya.
Kenyataannya, semua itu hanya fatamorgana. Kebahagiaan, kepuasan, dan kedamaian tidak terletak di situ. Sesungguhnya yang dikejar tak kurang dari cinta yang sepenuhnya dapat diandalkan, cinta yang sempurna, cinta Tuhan (hlm. 36).
Cinta seperti itulah yang menuntun manusia kepada jalan kebahagiaan. Sebagaimana esensi dari kehidupan yang merupakan perjalanan cinta, hendaknya hidup ini memang menggelorakan cinta. Terlebih lagi bahwa umat manusia adalah umat yang beragama, dan Islam merupakan agama yang paling banyak dipeluk oleh umat manusia, seharusnya memang hidup di dunia ini penuh cinta dan bahagia sehingga perdamaian antara umat manusia bisa tercapai.
Konsep yang demikian ini adalah konsep keagamaan Islam sebagaimana esensinya. Jika demikian halnya, tidak ada dalil tentang kebrutalan yang diajarkan oleh agama Islam. Terlebih lagi, aksi terorisme yang dianggap sebagai jalan jihad untuk memuliakan agama Tuhan terbukti tidak berdasar secara kuat karena Islam tidak mengajarkan kebrutalan sama sekali.
Metode jihad berupa perang yang dalam sejarahnya pernah dipimpin oleh Rasulullah saw sendiri merupakan salah satu varian jihad, bukan arti jihad secara total dan mutlak. Peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah saw pun bukan semata-mata untuk menyebarkan agama, tetapi lebih pada aksi defensif. Dengan demikian, hal ini merupakan gugatan dan sanggahan bagi pandangan stereotipe bahwa Islam disebarkan dengan pedang.
Islam melihat peperangan lebih sebagai tindakan defensif. Ofensif hanya dipandang legitimate untuk melawan penyerangan, pengkhianatan terhadap perjanjian damai, perusakan, dan dalam rangka membela suatu kelompok manusia atas suatu penindasan (hlm. 211).
Akhirnya, dengan membaca buku berjudul “Risalah Cinta dan Kebahagiaan” ini, para pembaca diajak untuk menyelami Islam secara lebih mendalam. Dengan kajian tasawuf dan sufisme, Islam sebagai ilmu didedah sedemikian rupa yang pada akhirnya melahirkan argumentasi kuat bahwa Islam bukanlah agama kekerasan, melainkan agama yang merisalahkan cinta dan kebahagiaan bagi umat manusia (rahmatan li al-‘alamin). Dengan cinta dan kebahagiaan tersebut, nyatalah bahwa Islam memiliki misi perdamaian dunia, bukan wajah kebrutalan suatu dogma sebagaimana yang dipandang oleh orang awam.
Sumber: https://satuislam.org/resensi-buku-islam-risalah-cinta-dan-kebahagiaan/