Cinta Negatif
<– Baca tulisan sebelumnya
–Cinta Manipulatif
Cinta ini tidak sejati, karena dijalankan dengan kepalsuan demi kepalsuan. Biasanya, cinta manipulatif berakar dari rasa takut kehilangan orang yang dicintai, kemudian terwujud dalam bentuk karakter cinta yang posesif.
Cinta manipulatif sering kali muncul ketika seseorang mengubah dirinya hanya demi mempertahankan cintanya, bahkan dengan mengorbankan kejujuran dan kebaikan. Dia rela berbohong, rela mengorbankan apa yang dia sukai, demi tidak kehilangan orang yang dia cintai. Ini adalah bentuk cinta yang tidak sejati, karena dia sudah kehilangan jati dirinya dan mengorbankan kejujuran dalam hubungan. Contoh sederhananya bisa terlihat saat berfoto selfie yang akan dikirim kepada pasangan atau orang yang dicintai. Dia memfilter fotonya berkali-kali, mengambil puluhan kali foto dari berbagai sudut hanya agar terlihat lebih baik dari kenyataannya. Ini contoh dangkal dari cinta manipulatif—seseorang tidak ingin menampilkan dirinya apa adanya.
Dalam konteks yang lebih dalam, manipulasi terjadi ketika seseorang berpura-pura menyukai sesuatu yang sebenarnya tidak disukainya, hanya agar pasangannya senang. Ini semua dilakukan demi menjaga hubungan, tetapi akhirnya malah menyiksa diri sendiri.
Manipulasi juga bisa terjadi dalam bentuk yang lebih dominan. Misalnya, jika seseorang lebih kuat dalam hubungan, dia bisa memanipulasi pasangannya dengan memaksanya untuk berubah sesuai keinginannya. Dia akan berkata, “Kalau kamu tidak berubah, aku akan meninggalkanmu.” Ini adalah bentuk cinta negatif yang sangat merusak, baik untuk diri sendiri maupun untuk pasangan.
Bagaimana kaitannya dengan cinta ilahiah? Cinta yang manipulatif berbeda dengan cinta kepada Tuhan, yang justru mendorong kita untuk mengorbankan segalanya demi kebaikan dan pengembangan diri secara positif. Cinta kepada Tuhan menuntut keikhlasan dan keaslian, bukan kepalsuan. Cinta manipulatif, sebaliknya, membuat kita menjadi tidak autentik, palsu, karena ada tujuan lain di luar cinta itu sendiri—seperti kepuasan pribadi atau kenyamanan sementara.
Efek dari cinta manipulatif adalah kita tidak bisa menjadi diri kita sendiri, tidak bisa hidup autentik. Pada akhirnya, cinta ini tidak memberi kebahagiaan sejati, karena didasarkan pada manipulasi dan ketakutan, bukan kejujuran dan saling menghormati.
-Cinta Eksploitatif
Cinta eksploitatif adalah cinta yang dijalankan dengan mentalitas dagang. Seseorang mencintai bukan karena kasih sayang yang tulus, melainkan karena ingin mendapatkan sesuatu sebagai imbalan. Prinsip yang dipegang adalah, “Aku mencintaimu selama aku mendapatkan manfaat dari hubungan ini.” Cinta seperti ini bisa dilihat ketika seseorang berkata, “Aku cinta padamu kalau kamu bisa antar-jemput aku kuliah setiap hari. Kalau tidak, aku cari yang lain yang punya motor.” Dia hanya mencintai selama dia mendapatkan kesenangan atau keuntungan pribadi.
Cinta eksploitatif juga sering terlihat dalam hubungan yang berorientasi pada keuntungan materiel atau kenyamanan semata. Ada orang yang dalam pernikahan membuat perjanjian pranikah untuk melindungi diri dari kerugian. Mereka tidak mau dirugikan, dan selalu berhitung tentang apa yang akan mereka dapatkan dari hubungan tersebut. Prinsipnya adalah, “Aku tidak mau rugi, kalau ada yang harus rugi, itu kamu, bukan aku.”
Ciri khas cinta eksploitatif adalah keinginan untuk mendapatkan imbalan atas setiap pengorbanan yang dilakukan. Orang yang mencintai secara eksploitatif sering mengungkit-ungkit pengorbanannya. “Aku sudah habis banyak untukmu, bagaimana bisa kamu memutuskan hubungan ini begitu saja?” atau “Kalau bukan karena aku yang selalu mendampingi dari nol, kamu tidak akan bisa sebesar ini sekarang.” Semua pengorbanan dihitung, dan selalu diharapkan ada imbalan yang lebih besar dari yang sudah dikeluarkan.
Cinta eksploitatif adalah cinta yang tidak mau modal besar tanpa ada jaminan keuntungan. Jika sudah berkorban, cinta jenis ini ingin mendapatkan lebih banyak sebagai imbalan. Ini bukan cinta yang tulus, melainkan cinta yang berbasis pada perhitungan untung rugi, yang jauh dari esensi cinta yang sejati.
-Cinta Tanpa Komitmen
Cinta tanpa komitmen, atau biasa disebut cinta fatalistik apatis. Cinta jenis ini hanya berhenti pada fase falling in love tanpa ingin melangkah lebih jauh ke fase standing for love. Ini adalah cinta yang hanya menikmati bagian fitrah dan anugerah, tetapi tidak mau mengambil tanggung jawab, tidak mau menjalankan amanah cinta.
Cinta tanpa komitmen ini contohnya adalah orang yang jatuh cinta, tetapi ketika diajak untuk berkomitmen atau saling mendukung, mereka menolak. Kalimat seperti, “Yuk kita saling mendukung,” atau, “Yuk kita saling memperbaiki,” sering kali dijawab dengan, “Ah, tidak perlulah seperti itu, kita jalani aja dulu, tidak perlu ruwet-ruwet.” Ini adalah jenis cinta yang hanya ingin enaknya, tapi tidak mau bertanggung jawab. Mereka menikmati fitrahnya, senang menerima anugerah cinta, tetapi tidak mau menjalankan amanah yang menyertainya.
Orang-orang yang memiliki cinta seperti ini biasanya fatalistik dan apatis. Fatalistik dalam arti bahwa mereka merasa, “Ah, kalau jodoh pasti ketemu sendiri, jalani aja, tidak perlu repot-repot ikhtiar. Sikap fatalistik ini menunjukkan ketidakmauan untuk berjuang demi cinta. Apatis berarti tidak peduli atau merasa tidak punya kendali atas cinta, “Ah, siapalah kita ini, apa kita bisa menjalani ini?”
Cinta jenis ini juga terlihat ketika diajak untuk bertanggung jawab dalam hubungan dengan Allah. Seseorang mengaku cinta kepada Allah, tetapi tidak mau melaksanakan komitmen seperti shalat lima waktu atau berpuasa dengan sungguh-sungguh. Mereka menyepelekan, shalatnya masih bolong-bolong, puasanya juga sekuatnya saja. Mereka tidak mau berkorban dan berjuang. Ini adalah cinta yang hanya mau menikmati anugerahnya, tapi tidak mau menerima amanahnya.
Cinta yang tanpa komitmen ini sering kali hanya manis di mulut, tapi tidak sampai ke hati. Padahal, cinta sejati itu penuh tanggung jawab dan amanah. Dalam cinta yang sejati, ada kepedulian (care), ada tanggung jawab (responsibility), dan kesiapan untuk berkorban demi kebaikan bersama. Orang yang mencintai dengan sungguh-sungguh siap memikul amanah cinta, bukan hanya menikmati enaknya.