NABI PEMBAWA RAHMAT

Ditulis oleh Minou, Admin Noura

Yuk, bagikan artikel ini!

Akhlak dan Adab

 

<– Baca tulisan sebelumnya

 

Akhlak, dalam istilah sehari-hari, bisa diartikan sebagai karakter yang tertanam dalam diri kita, yang muncul sebagai hasil dari pembiasaan kebaikan. Ketika kita melakukan kebaikan secara spontan, tanpa harus dipikirkan dulu, itu menandakan bahwa akhlak kita sudah terinternalisasi dengan baik. Akhlak adalah karakter yang tertanam dalam jiwa.

Akhlak bukanlah sekadar pencitraan. Jika seseorang masih harus berpikir tentang bagaimana seharusnya bersikap di hadapan guru atau orangtua, itu berarti akhlaknya belum sepenuhnya tertanam. Banyak orang yang tampak saleh ketika berada di hadapan orang lain, namun saat tidak ada orang yang mengawasi, sifat aslinya muncul kembali. Akhlak sejati, seperti yang dijelaskan oleh Imam Ghazali, akan muncul tanpa pertimbangan atau pemikiran (min ghairi fikrin wa ru’yatin).

Kalau diperhatikan, karakter asli seseorang akan tampak saat dia berperilaku spontan. Jika dia terbiasa mengucapkan kalimat yang baik, saat terkejut pun dia akan mengeluarkan kalimat yang baik seperti “astaghfirullâh” atau “subhânallâh” secara otomatis. Namun, jika seseorang berusaha berperilaku baik karena dilihat orang lain, dan ketika spontan yang keluar justru keluhan atau kata-kata yang tidak pantas, itu bukan akhlak yang sejati.

Adab merupakan manifestasi dari akhlak dalam budaya dan kehidupan sehari-hari. Adab mencerminkan akhlak, seperti menghormati guru dan orangtua dengan mencium tangan saat bertemu. Adab adalah wajah budaya dan perilaku konkret. 

Rasulullah memiliki akhlak yang terjamin dan tinggi, seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an, Sungguh, telah ada pada diri Rasulullah suri teladan yang baik bagimu (QS Al-Ahzâb [33]: 21). Ini menunjukkan bahwa Rasulullah harus menjadi kiblat dan panutan kita. Orang Jawa dan Sunda memiliki kebiasaan memanggil beliau dengan sebutan “Kanjeng Nabi”. “Kanjeng” berasal dari akronim “Kang Ajeng”, yang berarti “yang diposisikan di depan”. Ini menggambarkan bahwa beliau adalah sosok panutan.

Sebagai panutan, beliau harus ditempatkan di depan dalam hidup kita, agar kita bisa meneladani akhlaknya. Jika kita hanya meniru hal-hal yang tidak bermakna, seperti yang sering kita lihat di media sosial, maka karakter dan cara berpikir kita akan terbentuk sesuai dengan itu. Kita harus mengganti fokus kita; boleh melihat hal-hal lain, tetapi jangan menjadikannya sebagai panutan. Panutan utama kita adalah Rasulullah, yang memang diposisikan oleh Allah sebagai uswatun hasanah karena akhlaknya yang paten dan menjadi teladan bagi umat.

Akhlak dan adab sangat penting karena berkaitan langsung dengan misi Rasulullah. Beliau bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” Ini menunjukkan bahwa akhlak yang baik merupakan bagian integral dari ajaran beliau dan harus menjadi perhatian kita.

Memperhatikan aspek akhlak berarti kita turut mensukseskan misi Rasulullah. Kegelisahan beliau terhadap masalah akhlak terlihat jelas, dan kita perlu menyadari bahwa akhlak tidak boleh dianggap sebagai hal yang sepele. Terkadang, perhatian orang lebih terfokus pada ibadah fisik seperti shalat, tanpa mempertimbangkan akhlak sebagai variabel penting dalam keimanan.

Rasulullah juga menegaskan dalam sebuah hadis yang menjadi semacam sumpah, “Demi Allah, tidak ada yang akan masuk surga kecuali karena kebaikan akhlaknya.” Ini memperkuat bahwa akhlak yang baik adalah salah satu syarat untuk mendapatkan tempat di surga. Oleh karena itu, kita mesti memperhatikan dan membenahi akhlak kita dalam kehidupan sehari-hari.

Akhlak adalah salah satu aspek yang paling penting dalam syariat. Berbeda dengan ibadah yang bisa kita tiru secara otomatis, seperti shalat, puasa, atau zakat, akhlak perlu ditanamkan dan dibiasakan agar bisa muncul dalam perilaku sehari-hari. Rasulullah mengajarkan akhlak kepada umatnya melalui tuntunan Allah lewat banyak ayat dalam Al-Qur’an. Salah satunya adalah Surah Al-A‘râf ayat 199 yang menyatakan, Jadilah pemaaf, perintahkan untuk kebaikan, dan berpalinglah dari orang bodoh. 

Ayat ini mengajari kita untuk menjadi pemaaf dan memerintahkan kebaikan, sembari memiliki hati yang luas. Dan jika berhadapan dengan orang yang mengeyel atau bodoh, kita sebaiknya tidak terlibat dalam konflik. Alih-alih memperdebatkan pendapat, lebih baik kita mencari cara untuk mendidik mereka dengan lembut. Dalam situasi seperti itu, kita harus ingat untuk wa a‘ridh ‘anil jâhilîn (berpaling dari orang-orang yang jahil). Ini agar kita tidak menambah masalah atau musuh baru.

 

Bersambung ke tulisan berikutnya –>