Search
Close this search box.

Hakikat Manusia sebagai Makhluk Individu dalam Orang-Orang Bloomington Karya Budi Darma

Ditulis oleh Minou, Admin Noura

Yuk, bagikan artikel ini!

“Orang yang tidak pernah menghasilkan apa-apa, kesepian, tapi mencurigai orang lain sebagai sumber malapetaka, dan karena itu tidak pernah bersentuhan dengan orang lain, pantaskah kalau namanya dikenang?” –Budi Darma, Orang-Orang Bloomington.

Apakah kamu tertegun saat membaca kutipan tersebut? Tak heran jika kamu merasa begitu. Bagaimana tidak? Tema yang diangkat dalam Orang-Orang Bloomington secara keseluruhan menggambarkan hakikat manusia yang paling dalam. Berbeda dari cerpen pada umumnya yang mengedepankan masalah hidup manusia sebagai makhluk sosial, tokoh-tokoh dalam Orang-Orang Bloomington mencerminkan manusia sebagai individu.

Tema tersebut sangat berkaitan erat dengan sikap-sikap individual manusia, permasalahan moral, dan sosial. Sulit berkomunikasi dengan manusia lain merupakan salah satu hal yang kerap dialami oleh manusia karena pada hakikatnya manusia cenderung mempertahankan moralitas dan jati dirinya masing-masing. Hal ini dengan jelas diungkapkan dalam Orang-Orang Bloomington. Tujuh cerpen yang dimuat dalam Orang-Orang Bloomington antara lain “Laki-Laki Tua Tanpa Nama”, ”Joshua Karabish”, “Keluarga M”, “Orez”, “Yorrick”, “Ny. Elberhart”, dan “Charles Lebourne”.

Dalam “Laki-Laki Tua Tanpa Nama”, egoisme manusia dalam hubungan sosial ditampilkan. Sikap egoisme tokoh “saya” terlihat dalam usaha kerasnya untuk mencari tahu siapa laki-laki tua itu sampai ia menelepon para tetangganya meski ia tahu hal tersebut mengganggu mereka. Kegigihan itu dipatahkan oleh sikap individualisme semua orang di lingkungan tersebut, terutama para tetangganya. Oleh karena itu, sampai akhir ceritanya yang tragis, tokoh “saya” tetap tidak mengetahui siapa sebenarnya laki-laki tua itu.

Cerpen “Joshua Karabish” dan “Ny. Elberhart” juga memiliki tema yang serupa. Masih berkutat dengan egoisme manusia, kali ini kedua cerpen tersebut berkenaan dengan keadaan jasmaniah para tokoh. Tokoh Joshua memiliki penyakit yang menjijikkan yang membuatnya sering diasingkan. Tokoh “saya” merupakan satu-satunya orang yang mau berteman dengan Joshua, namun pada akhirnya sikap egoisme tokoh “saya” membuatnya mengutuk Joshua dan penyakitnya. Bahkan tokoh “saya” sampai berani mengakui hasil kreativitas Joshua sebagai miliknya.

Begitu juga dengan Ny. Elberhart yang terlihat tidak terurus dengan rumahnya yang juga terlihat sama tidak terawatnya. Tokoh “saya” lagi-lagi merepotkan diri sendiri untuk mencari tahu alasan di balik kemisteriusan Ny. Elberhart. Setelah Ny. Elberhart meninggal karena penyakitnya, tokoh “saya” merasa memiliki kewajiban untuk membuat namanya dapat dikenang oleh orang-orang yang selalu menganggapnya tidak penting karena hanya ia satu-satunya orang yang berhasil masuk ke dalam kehidupan Ny. Elberhart. Namun, usaha untuk membantu mengangkat harga diri Ny. Elberhart tidak pernah berhasil karena sikap egoisme manusia di lingkungan tersebut.

Sedangkan dalam cerpen “Keluarga M”, masalah moralitas sangat ditonjolkan. Kepala keluarga M dengan keras menyanggah laporan tokoh “saya” mengenai anak-anaknya yang mencorat-coret mobil tokoh “saya” karena ia yakin sudah mendidik anaknya dengan benar. Kita dapat melihat bahwa kepala keluarga M berusaha keras untuk mempertahankan jati dirinya sebagai manusia yang berbudi dan orang tua yang baik. Namun ia lupa bahwa sikap tersebut dapat membuatnya menjadi terlalu egois dan tidak menghargai keberadaan orang lain, yang pada akhirnya membawa malapetaka untuk dirinya sendiri.

Sikap egoisme yang berkaitan erat dengan persoalan cinta dapat ditemukan dalam cerpen “Yorrick”. Tokoh “saya” gagal mendapatkan dua orang gadis incarannya karena tidak dikarunia kemampuan bergaul seperti Yorrick. Sisi kelam tokoh “saya” berhasil membuatnya tak segan-segan mencelakai rival-rivalnya. Bahkan sampai akhir cerita, tokoh “saya” berjanji untuk tidak datang ke acara pernikahan mereka karena kebenciannya yang luar biasa. Dari sini, hubungan manusia digambarkan sebagai sesuatu yang bersifat kepentingan semata, bukan karena sikap sosial dan kemanusiaan.

Di samping tema-tema yang berkaitan erat dengan sosial, jasmaniah, moralitas, dan cinta, cerpen “Orez” mengangkat tema yang berkaitan dengan eksistensi manusia sebagai ciptaan Tuhan. Tokoh “saya” merupakan ayah Orez, seorang anak yang cacat dengan tingkahnya yang aneh dan meresahkan orang sekitar. Meski pada awalnya tokoh “saya” sudah menerima takdirnya, kelakuan Orez berhasil membuatnya memiliki niat jahat. Untungnya tokoh “saya” tersadar bahwa anaknya tidak pernah meminta untuk dilahirkan, apalagi secara cacat. Tokoh “saya” akhirnya menyadari bahwa manusia tidak mungkin mampu melawan takdir.

Emosi, jiwa, dan pencarian jati diri dalam Orang-Orang Bloomington memunculkan kesan kegilaan manusia dengan segala kegelisahan, kesengsaraan, dan keterasingan dalam menghadapi lingkungan yang keras. Memang begitulah adanya kalau kita coba hubungkan dengan kehidupan yang semakin keras saat ini, manusia semakin tidak mampu memahami jati dirinya sendiri. Jangankan untuk memahami dan mengatur orang lain, memahami dan mengatur diri sendiri saja tidak mampu. Benar begitu, bukan?

Dapatkan buku Orang-Orang Bloomington karya Budi Darma di Mizanstore Official!

[PESAN BUKUNYA DI SINI]