Dari Hadhramaut Hingga Nusantara: Memahami Keislaman Bangsa Indonesia Melalui Thariqah ‘Alawiyah

Ditulis oleh Minou, Admin Noura

Yuk, bagikan artikel ini!

Sejak berabad-abad, perkembangan komunitas habaib di Indonesia, yang cukup besar jumlahnya, tidak dapat dipisahkan dari perkembangan bangsa Indonesia itu sendiri. Mereka ikut berperan dalam berbagai aspek sosial, keagamaan, dan politik Indonesia. Itu sebabnya penting untuk memahami dinamika internal komunitas tersebut untuk memahami kecenderungan yang lebih besar yang terjadi di dalam negeri.

Kamis, 26 April 2018, bertempat di Auditorium gedung 1 FIB UI dilangsungkan sebuah acara seminar yang bertemakan “Dinamika Internal di Komunitas Habaib Indonesia”. Sesi ini merupakan rangkaian acara Festival Hadhrami yang diselenggarakan FIB UI.

Pembicara seminar ini terdiri dari Yasmin Zaky Shahab, staf pengajar di Departemen Antropologi FISIP UI; Ben Sohib, penulis cerita pendek, novel, skenario film, dan esai; dan Direktur Utama Mizan, Haidar Bagir.

Haidar Bagir menjelaskan mengenai kemunculan Habib di Indonesia semenjak kebangkitan Islam dan disusul keberhasilan reformasi Indonesia. Kedua hal tersebut nyatanya berdampak pada kesempatan untuk memberi ruang yang lebih besar untuk tampilnya tokoh-tokoh yang biasa disebut sebagai habib atau habaib di dalam panggung Nasional.

“Belum lagi yang membaca dampak besar itu adalah ketika kedatangan sekelompok atau berkembangnya sekelompok ulama yang biasanya kita sebut sebagai Walisongo,” lanjut Haidar Bagir.

Ia menjelaskan bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui tiga gelombang:

Pertama, gelombang di abad ke 15-16 oleh keturunan dari Said Abdul Malik bin Ammar Fatih, yang tak lain adalah para walisongo.

Kedua, gelombang di abad ke 18-19 yang merupakan keturunan dari Al-Faqih Al-Muqaddam yang melewati India kemudian hijrah ke Indonesia.

Ketiga, sebagian dari kelompok yang sama, yang tidak melewati India tetapi dari Hadhramaut langsung ke Indonesia.

Menurut Haidar Bagir, pemahaman keislaman dari ketiga gelombang ini kemungkinan sama. Hanya mungkin culture keagamaannya yang sedikit berbeda. Kelompok yang sempat singgah ke India memiliki culture keagamaan yang lebih terbuka. Sementara kelompok yang langsung dari Hadhramaut ke Indonesia memiliki culture keagamaan yang lebih kompleks.

“Kalo kita lihat genealogi para pemikir Tasawuf Nusantara, kita akan dapati hampir semua mereka itu nyantolnya jaringan Ulama Habaib, jaringan Ulama Thariqah ‘Alawiyah,” ujarnya menjelaskan lebih lanjut mengenai Tasawuf Hadhramaut.

Menurut Haidar Bagir, jika kita ingin berbicara tentang akar-akar Islam di Indonesia, kita harus membahas tuntas tentang Tasawuf Hadhramaut yang disebut Thariqah ‘Alawiyah ini. Hal ini karena pengaruhnya di dalam membentuk keislaman di Nusantara sangat menentukan dan krusial. 

“Ini sangat relevan, ini sangat penting dan akan sangat bermanfaat untuk sebetulnya membantu kita secara sadar memahami keislaman bangsa Indonesia itu seperti apa dan mau dibawa ke mana keislaman Indonesia. Dan bagaimana itu bisa masuk sebagai salah satu unsur yang integral di dalam kebudayaan Nusantara ini,” ujar Haidar Bagir.

Setelah enam tahun berlalu, Haidar Bagir masih berpegang teguh dengan pemahamannya mengenai keislaman bangsa Indonesia hingga akhirnya terbitlah buku terbarunya yang berjudul, “Menemukan Kembali Thariqah ‘Alawiyah: Dari Hadhramaut sampai Indonesia”.

Buku ini berisi tentang sejarah Thariqah ‘Alawiyah yang telah merentang selama hampir 10 abad, dari masa kelahirannya di Hadhramaut, hingga penyebarannya ke India, Afrika (Utara dan Pantai Barat), Asia Timur Jauh, bahkan Amerika dan Eropa—dengan wilayah Nusantara sebagai salah satu pusat penyebarannya. Tak sedikit sarjana modern telah melakukan penelitian atasnya. Termasuk, Alexander Knysh, Esther Peskes, Ulrike Freitag, Anne Bang, Engseng Ho, Martin Slama, Kazuo Morimoto, dan lainnya. 

Secara ringkas tapi cukup komprehensif, buku ini berusaha melacak genealogi Thariqah ‘Alawiyah, ajaran dan praktiknya, serta evolusinya sejak sejarah awalnya—melalui beberapa tahap—hingga sekarang. Juga, pengaruh dan interaksinya dengan sejarah keagamaan di Nusantara. Selain didasarkan pada berbagai teks autentik, sedikit banyak pembahasan dalam buku ini bersifat fenomenologis (tangan pertama), mengingat juga penulisnya lahir dan besar di lingkungan tarekat ini.

Dapatkan buku “Menemukan Kembali Thariqah ‘Alawiyah: Dari Hadhramaut sampai Indonesia di Mizanstore Official!

[PESAN BUKUNYA DI SINI]