Kado untuk Ibu yang Baru Melahirkan
Seorang sahabat mengabarkan kelahiran anak keempatnya di media sosial. Saat itu saya sedang duduk di sebuah kafe tak jauh dari klinik tempat ia menjalani persalinan. Saya berasumsi, ia ingin semua orang tahu dan mungkin, berkunjung memberi ungkapan selamat. Tapi ketika saya mengiriminya pesan, meminta izin untuk datang menjenguk, saya menangkap kesan enggannya. Saya menyimpulkan bahwa ia memang hanya ingin mengabarkan, tetapi sedang belum ingin dikunjungi. Akhirnya, saya memilih membeli parsel buah dan menitipkannya saja pada resepsionis klinik.
Empat bulan kemudian, kami baru berkesempatan berjumpa. Ia bercerita bahwa saat itu ia memang sedang luar biasa kelelahan setelah proses persalinan, juga kesakitan selepas menjalani proses sterilisasi. Ia merasa tidak akan sanggup menerima tamu dalam kondisi seperti itu. Situasi ini kembali membuat saya berpikir ulang tentang hal-hal yang sebaiknya kita berikan untuk ibu yang baru melahirkan.
Satu: Tidak Berkunjung pun Bisa Menjadi Kado untuk Ibu yang Baru Melahirkan
Kadang, hadiah terbaik untuk ibu yang baru melahirkan adalah memberi ruang. Ketika saya baru pulang dari persalinan dulu, saya ingat rumah yang berantakan, tubuh yang letih, dan pikiran yang kalut. Setiap kali ada kabar tamu akan datang, saya dan suami panik membereskan rumah agar tampak layak. Padahal, merawat diri sendiri saja tidak sempat, apalagi menjamu orang lain. Sayangnya, waktu itu kami belum cukup berani untuk menolak kedatangan tamu. Oleh karenanya, saya belajar bahwa kadang, ketidakhadiran kita secara fisik justru adalah bentuk perhatian. Dalam banyak kasus, kado untuk ibu yang baru melahirkan justru hadir dalam bentuk pengertian—bahwa tubuh dan pikiran ibu masih berada dalam masa pemulihan yang rapuh.
Dua: Berkunjung untuk Membantu, Bukan Sekadar Bertamu
Ada ibu yang ingin sendiri, ada pula yang justru membutuhkan kehangatan kunjungan. Namun bila kita diberi kesempatan berkunjung, datanglah bukan sebagai tamu, tetapi sebagai tangan tambahan. Dalam buku Ibu, Kamu Tidak (Gila) Sendirian, seorang ibu yang melahirkan jauh dari tanah air bercerita betapa ia merasa terbantu oleh kawan-kawan sesama ibu dari Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI). Mereka datang membawa banyak makanan, stok yang kemudian menyelamatkannya selama seminggu ketika ia benar-benar kewalahan menghadapi ritme menjadi ibu baru. Betapa berharga kunjungan seperti ini. Kunjungan seperti ini adalah bentuk nyata empati untuk ibu baru, terutama bagi mereka yang sedang menyesuaikan diri dengan ritme hidup sebagai ibu pasca melahirkan.
Tiga: Kado untuk Ibu, Bukan (Saja) untuk Bayi
Saat menjenguk, kita sering menemukan gunungan kado bayi: selimut, baju mungil, atau perlengkapan yang akhirnya menumpuk dan sama sekali tak terpakai. Di tengah euforia itu, kita kerap lupa bahwa saat seorang bayi lahir, seorang ibu pun “lahir” kembali. Dan, ia juga layak dirayakan.
Dalam buku yang sama, ada kisah seorang ibu yang merasa amat tersentuh menerima hadiah kecil berupa produk perawatan tubuh. Hadiah yang membuatnya merasa diperhatikan sebagai individu yang baru menjalani proses yang tidak mudah, bukan hanya sebagai “pengasuh bayi”. Ia bahkan akhirnya membeli pakaian menyusui untuk dirinya sendiri, sekadar agar hatinya lebih ringan setiap hari.
Memberi hadiah untuk ibu melahirkan berarti mengakui bahwa ia bukan hanya pengasuh bayi, tetapi manusia yang sedang berjuang menjaga kesehatan mental ibu di tengah perubahan besar hidupnya.
Empat: Kata-Kata yang Memeluk, Bukan Menghakimi
Ramona T. Mercer, perawat dan penulis teori keibuan, mengingatkan bahwa dukungan terbaik untuk ibu baru mencakup empat hal: dukungan emosional, informasi, fisik, dan pujian/pengakuan. Dan sering kali, yang paling mudah justru yang paling berarti: kata-kata yang lembut, meneguhkan, tanpa tuntutan dan tanpa penilaian. Satu kalimat dukungan bisa lebih menenangkan daripada seribu nasihat.
Kado untuk ibu yang baru melahirkan tidak selalu menuntut sesuatu yang besar, atau bahkan tidak melulu berupa benda. Saat seorang ibu yang kita kenal baru saja melahirkan, pikirkan kembali apa hal yang mungkin paling ia butuhkan. Karena kita tahu, masa-masa setelah bayi lahir bukan melulu berisi tentang kebahagiaan. Siapa tahu, perhatian kita, dalam bentuk apa pun itu, bisa meringankan harinya yang melelahkan.
Lucia Priandarini, penulis Ibu, Kamu Tidak (Gila) Sendirian
Jeda untuk Diri Sendiri (Saat Hampir Tak Pernah Sendiri)
Dalam buku Ibu, Kamu Tidak (Gila) Sendirian, ada beberapa tip praktis dan sederhana yang bisa dicoba untuk menciptakan jeda bagi diri sendiri. Artikel ini melengkapi pemahaman kita tentang konsep jeda atau istirahat itu sendiri. Ketika mendengar kata “jeda atau istirahat”, kebanyakan orang langsung membayangkan tidur. Padahal, menurut Dr. Saundra Dalton-Smith dalam bukunya, Sacred Rest: Recover Your Life, Renew Your Energy, Restore Your Sanity (2017), tidur hanyalah salah satu bentuk istirahat. Tubuh dan pikiran manusia membutuhkan tujuh jenis istirahat yang berbeda agar benar-benar pulih.
Bagi siapa pun, terutama ibu baru, memahami jenis-jenis istirahat ini dapat membantu menjaga kesehatan fisik, mental, dan emosional di tengah tuntutan kehidupan sehari-hari.
-
Istirahat Fisik (Physical Rest)
Istirahat ini terbagi dua macam, yaitu pasif dan aktif. Istirahat pasif misalnya tidur siang atau rebahan. Istirahat aktif seperti stretching ringan, pijat, napas dalam, atau mandi air hangat.
Ibu yang baru melahirkan sering mengalami kelelahan ekstrem karena menyusui dan kurang tidur. Istirahat fisik yang cukup membantu memulihkan otot, memperbaiki daya tahan, serta mengurangi pegal tubuh. Tip cepat: sisipkan 10 menit untuk napas dalam atau stretching saat bayi tidur.
-
Istirahat Mental (Mental Rest)
Bagi ibu pasca melahirkan, memahami kebutuhan istirahat bukan hanya soal fisik, tetapi juga upaya penting menjaga kesehatan mental ibu agar tidak jatuh dalam kelelahan berkepanjangan.
Pikiran yang terus-menerus bekerja, mengurus rumah dan keluarga, memastikan jadwal imunisasi tidak terlewat, atau memikirkan pekerjaan, bisa membuat seseorang merasa “penuh”. Istirahat mental membantu menenangkan arus pikiran yang tak kunjung berhenti.
Coba buat daftar tugas agar tidak terus dipikirkan, melamun, fokus pada satu hal di satu waktu, dan kurangi multitasking untuk membantu mental kita beristirahat. Ibu baru akan sangat terbantu dengan istirahat mental karena sering kewalahan oleh berbagai informasi dan kebutuhan bayi.
-
Istirahat Emosional (Emotional Rest)
Ini adalah kemampuan untuk mengizinkan diri merasakan apa pun tanpa berpura-pura kuat. Banyak orang terlihat baik-baik saja, padahal dalam hati lelah. Ibu baru juga kerap mengalami perubahan emosi akibat hormon, kurang tidur, dan adaptasi peran. Memberi ruang untuk jujur pada diri sendiri penting dilakukan. Anda bisa curhat pada sahabat yang aman atau menulis jurnal yang berisi pengakuan bahwa sedang lelah tanpa merasa bersalah.
-
Istirahat Sosial (Social Rest)
Istirahat sosial terjadi ketika kita menyeimbangkan hubungan yang menguras energi dengan hubungan yang mengisi energi. Kita memiliki lingkaran sosial yang memberikan energi positif dan yang membutuhkan energi lebih. Ibu baru mungkin merasa energinya sering terkuras habis karena terus berinteraksi dengan orang yang memberi banyak komentar atau tuntutan. Berada di dekat orang yang mendukung tanpa menghakimi, membatasi interaksi yang membuat stres, dan menunda membalas pesan; adalah beberapa hal konkret yang bisa dilakukan.
-
Istirahat Sensorik (Sensory Rest)
Kelebihan rangsangan sensorik (suara TV, notifikasi ponsel, lampu terang, atau bahkan tangisan bayi) bisa membuat kita mudah marah dan cepat lelah. Istirahat sensorik dapat membantu menenangkan sistem saraf. Coba matikan suara notifikasi, redupkan lampu, diam beberapa menit tanpa layar, dan perbanyak kontak dengan alam. Ibu baru dapat merasa sangat terbantu karena lingkungan rumah sering penuh dengan stimulus/rangsangan sensori.
-
Istirahat Kreatif (Creative Rest)
Ini adalah proses memulihkan kepekaan terhadap keindahan, inspirasi, dan hal-hal yang membuat hati hangat. Ibu baru yang sibuk sering kehabisan ruang untuk kreativitas padahal keindahan dapat menyegarkan jiwa.
Lakukan beberapa aktivitas ini dan rasakan hasilnya: melihat pemandangan alam (pergi ke daerah gunung atau pantai), mendengarkan musik lembut, mewarnai, menulis, atau membuat scrapbook bayi, dan menghias album foto keluarga.
-
Istirahat Spiritual (Spiritual Rest)
Istirahat ini berkaitan dengan perasaan terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri, baik melalui agama, nilai hidup, atau komunitas yang mendukung. Bagi banyak orang, istirahat spiritual membantu menemukan makna, kedamaian hati, dan rasa diterima. Hal yang bisa dilakukan adalah berdoa atau meditasi singkat, membaca ayat atau renungan, dan ikut kelompok dukungan ibu.
Ibu baru sedang berada dalam fase transisi besar. Tubuhnya sedang dalam proses pemulihan, emosinya berubah dengan cepat, dan memiliki tanggung jawab baru yang sangat besar. Melalui tujuh jenis istirahat ini semoga dapat membantu mengurangi kelelahan dalam pengasuhan, membuat emosi lebih stabil, meningkatkan kualitas tidur, membangun kembali energi dan kepercayaan diri ibu.
Istirahat bukanlah kemewahan, tetapi kebutuhan dasar agar ibu terus dapat merawat diri dan bayinya dengan lebih seimbang.
Fransisca Kumalasari, psikolog, penulis Ibu, Kamu Tidak (Gila) Sendirian
Baca juga: Clear Thinking: Seni Memberi Jeda untuk Keputusan yang Lebih Baik
Ruang Belakang Ibu
“And now that you don’t have to be perfect, you can be good.”
John Steinbeck
Sejak kecil, banyak dari kita tumbuh dengan gambaran tentang ibu sebagai sosok yang selalu kuat, selalu benar, dan selalu penuh kasih. Ibu ditempatkan di puncak segala kebaikan: simbol cinta, pengorbanan, moral, bahkan pilar bangsa. Gambaran besar ini tentu indah, tetapi juga menghadirkan bayangan lain yang tak kalah besar: tuntutan bahwa seorang ibu harus mampu melakukan semuanya, tanpa lelah, tanpa salah, tanpa keluhan.
Padahal, menjadi ibu tidak pernah sesederhana itu. Perubahan yang datang setelah kelahiran anak bukan hanya pada tubuh, tetapi juga pada ritme hidup, identitas, hubungan, bahkan cara kita memandang diri sendiri. Banyak ibu tidak pernah benar-benar diberi ruang untuk jujur—bahwa di balik senyum dan unggahan ceria, ada hari-hari yang berat, sunyi, dan penuh pergulatan batin.
Ruang Belakang yang Tersembunyi
Sosiolog Erving Goffman pernah menggambarkan interaksi manusia sebagai sebuah pertunjukan besar. Ada panggung depan, tempat segala hal tampak teratur dan indah. Dan ada panggung belakang, ruang kecil di mana seseorang boleh melepaskan topeng, meredakan napas, dan menjadi dirinya sendiri.
Menjadi ibu pun demikian.
Di panggung depan – di hadapan keluarga, lingkungan, atau media sosial – seorang ibu menjalankan perannya sebagai pelindung, penyayang, dan pusat ketenangan rumah. Ia tampak mampu, tampak kuat, bahkan tampak bahagia setiap saat.
Namun, di ruang belakangnya, yang jarang terlihat siapa pun, ada lelah yang dipendam, ketakutan yang ditahan, dan perasaan yang sering kali tidak diberi nama. Ruang ini tidak berarti kelemahan; ia adalah sisi manusiawi yang kerap kita sembunyikan karena takut dihakimi.
Dalam buku Ibu, Kamu Tidak (Gila) Sendirian, Saras, seorang ibu dua anak, menceritakan perasaannya, “Tidak ada yang memberitahu sebelumnya bahwa menjadi ibu ternyata seberat ini.” Malam-malam tanpa tidur, tubuh yang masih memulihkan diri, dan tekanan dari sekitar membuatnya merasa tak berdaya. Kisah seperti ini sebenarnya umum terjadi, tapi jarang dibicarakan.
Selama bertahun-tahun, budaya menampilkan ibu sebagai figur yang selalu tersenyum. Unggahan media sosial memperkuat ilusi bahwa pengalaman menjadi ibu selalu manis, penuh cinta, dan nyaris tanpa letih. Padahal, kenyataannya jauh lebih luas.
Ibu bisa bahagia, dan pada saat yang sama, merasa kesepian.
Ibu bisa mencintai anaknya dengan sepenuh hati, sambil merindukan dirinya yang dulu.
Ibu bisa tampak baik-baik saja, sambil memikul beban yang tidak ia tahu bagaimana harus dibicarakan.
Banyak ibu pasca melahirkan memikul beban emosi di ruang belakang hidupnya, dan di sinilah empati untuk ibu baru menjadi bentuk kado yang sering kali paling dibutuhkan.
Ketika Dunia Terlihat seperti Kompetisi Para Ibu
Di era media sosial, mudah sekali kita merasa kalah. Hera, seorang ibu dua putra, pernah memblokir akun teman-temannya karena mereka mengunggah perihal stok ASI yang melimpah. Ini membuatnya merasa tidak cukup baik. Ia bukan satu-satunya. Banyak ibu mengalami hal serupa.
Dalam kondisi lelah, hormon yang belum stabil, dan adaptasi yang luar biasa besar, melihat “kesempurnaan” orang lain bisa terasa seperti serangan. Padahal, kita semua tahu: media sosial adalah panggung depan. Kita jarang menampilkan air mata, malam yang penuh kecemasan, atau rasa ragu atas keputusan-keputusan yang setiap hari harus diambil.
Dan itulah sebabnya kita perlu mengingat satu hal sederhana: tidak ada satu pun ibu yang benar-benar tanpa beban. Ada yang terlihat lelah, ada yang menyembunyikan lelahnya. Tetapi semua berjalan dengan kemampuan terbaik yang mereka punya, di hari itu, pada jam itu, di situasi yang ada.
Mengalir Bersama Keterbatasan
Keterbatasan tidak menjadikan seorang ibu kurang baik. Justru di sanalah letak kemanusiaannya. Tidak apa-apa membatasi akses media sosial. Tidak apa-apa merasa rapuh. Tidak apa-apa meminta bantuan. Tidak apa-apa mengambil jeda.
Hal yang penting adalah menemukan ruang belakang kita masing-masing. Entah dalam percakapan dengan teman yang mengerti, pasangan yang hadir, komunitas yang menerima, atau tenaga profesional yang siap mendukung. Dan ketika seorang ibu membuka ruang belakangnya kepada kita, mari kita menyambutnya dengan kehangatan, bukan penilaian.
Menjadi Ibu, Menjadi Manusia
Ibu tidak harus sempurna. Ibu hanya perlu menjadi cukup. Cukup hadir, cukup mencoba, cukup mencintai. Dan dalam perjalanan panjang ini, mudah-mudahan setiap ibu menemukan tempat untuk bernapas, menangis, tertawa, dan terus belajar menerima diri sendiri. Di balik wajah yang tampak baik-baik saja, selalu ada cerita yang tidak terlihat. Dan di balik cerita itu, ada seorang ibu yang terus berusaha sebaik yang ia bisa; meski tidak selalu kuat, tidak selalu tenang, dan tidak selalu tahu apa yang harus dilakukan.
Pada akhirnya, kado untuk ibu yang baru melahirkan tidak selalu berupa barang, bingkisan, atau kunjungan. Ia bisa hadir sebagai empati, sebagai bantuan kecil, atau sebagai kata-kata yang menenangkan. Dengan memahami kebutuhan ibu pasca melahirkan, kita ikut menjaga kesehatan mental ibu dan menunjukkan bahwa ia tidak sendirian dalam fase hidup yang melelahkan ini.


