Sirnalah dalam seruan
“Paduka”, kata Daud, “karna Kau tak butuh kami, kenapa Kaucipta dua dunia ini?”
Sang Hakikat menjawab: Wahai tawanan waktu …
Dulu Aku perbendaharaan-rahasia kebaikan dan kedermawanan.
Kurindu perbendaharaan ini dikenali, maka kucipta cermin: …
Mukanya yang cemerlang, hati;
punggungnya yang gelap, dunia.
Punggungnya kan memesonamu jika tak pernah kaulihat mukanya
Pernahkah ada yang membuat cermin dari lumpur dan jerami?
Maka sapulah lumpur dan jerami itu, sebilah cermin pun kan tersingkap …
Ingatlah Tuhan sebanyak-banyaknya hingga kau terlupakan.
Biarkan penyeru dan Yang Diseru musnah dalam Seruan.
Cuplikan puisi di atas merupakan hasil karya dari seorang penyair besar Islam dari Persia, Jalaluddin Rumi. Haidar Bagir dengan piawai menerjemahkan beberapa puisi karya Rumi tersebut dan dibukukan dengan judul “Belajar Hidup dari Rumi”.
Rumi adalah penyair yang luar biasa kaya dalam membahas banyak hal. Dalam karyanya, ia membahas tentang alam, manusia, dunia fisik, hingga dunia ruhani. Utamanya ia membahas tentang Tuhan dan hubungan antara manusia dengan Tuhan.
“Paduka”, kata Daud, “karna Kau tak butuh kami, kenapa Kaucipta dua dunia ini?”
Pada cuplikan puisi di atas, Rumi membuka syairnya dengan dialog antara Nabi Daud dan Allah Swt. Cuplikan puisi ini menginterpretasikan pemahaman hakikat ketuhanan dan hubungan antara Tuhan dan alam semesta yang diciptakan-Nya. Dua dunia ini dimaksudkan sebagai dunia fisik dan dunia ruhani.
Sang Hakikat menjawab: Wahai tawanan waktu …
Sang hakikat di sini dimaksud sebagai Allah Swt. Sementara tawanan waktu adalah manusia. Manusia meski sesungguhnya berasal dari Allah Swt. dan bersifat ruhani, mereka cenderung terikat pada sesuatu yang bersifat duniawi. Waktu adalah sifat dari kehidupan duniawi, tepatnya waktu linear atau yang disebut sebagai zaman. Sehingga kalimat dari wahai tawanan waktu bisa diinterpretasikan sebagai wahai makhluk yang terikat dengan dunia fisik.
Dulu Aku perbendaharaan-rahasia kebaikan dan kedermawanan.
Kurindu perbendaharaan ini dikenali, maka kucipta cermin: …
Kalimat di atas bisa diinterpretasikan sebagai pengungkapan kembali dari Hadis Qudsi. Menurut Haidar Bagir, dalam Hadis Qudsi lain, Allah Swt. mengatakan, “Aku ingin dikenali sebagai Yang Pengasih, Penyayang, Maha Pengampun, Maha Penutup Aib.” Allah Swt. ingin dikenali sebagai Yang Memiliki Kebaikan dan Kedermawanan, maka ia menciptakan cermin.
Cermin ini maksudnya adalah semua ciptaan dari Allah Swt. Jadi yang harus dipahami dalam bagian puisi ini bahwa di dalam wahdatul wujûd atau tauhîd wujûdi, alam semesta ini dianggap sebagai tajalli (pengungkapan)-nya Allah Swt.
Alam semesta ini merupakan cermin dari Allah Swt. Allah Swt. yang tersembunyi kemudian termanifestasi dalam ciptaan-Nya, yaitu alam semesta. Seolah-olah alam semesta menangkap hakikat Allah Swt. yang tersembunyi tersebut.
Mukanya yang cemerlang, hati;
punggungnya yang gelap, dunia.
Sebuah cermin memiliki dua sisi, yaitu bagian mukanya yang bening dan bagian punggungnya yang gelap. Haidar Bagir menjelaskan makna dari penggalan puisi tersebut bahwa cermin ibarat kehidupan manusia. Bagian muka cermin yang bening adalah hati manusia, sementara punggung cermin yang gelap adalah dunia.
Punggungnya kan memesonamu jika tak pernah kaulihat mukanya.
Menurut Haidar Bagir, kita sering terpesona oleh hal-hal yang sebetulnya gelap. Hal-hal yang sebetulnya menjadi hijab bagi pengenalan kita akan hakikat. Yaitu kesenangan duniawi yang oleh nafsu rendah kita, kita didorong untuk menghabiskan waktu dan menyibukkan diri kita dengan hal itu. Padahal sesungguhnya hakikat pencerahan kebahagiaan kita ada di dalam hati kita, yang di dalamnya Allah Swt. bertajali.
Pernahkah ada yang membuat cermin dari lumpur dan jerami?
Maka sapulah lumpur dan jerami itu, sebilah cermin pun kan tersingkap.
Haidar Bagir mengingatkan tentang diri kita yang sering kalah oleh nafsu sesaat. Kadang-kadang jika kita tidak secara sengaja menaklukkan nafsu kita kemudian membersihkan diri kita dari dorongan nafsu rendah itu, maka yang terjadi seperti kata sallallâhu ‘alaihi wa sallam, “Setiap orang Mukmin yang melakukan maksiat, di dalam hatinya akan bermunculan bintik hitam.” Jika dia sering melakukan maksiat, bintik hitam tersebut akan terus bertambah hingga menutupi hatinya, sehingga hati yang merupakan cermin bening tersebut akan tertutupi dan yang terlihat hanyalah bagian gelapnya saja.
Maka sapulah lumpur dan jerami itu yang menutupi beningnya cermin dengan cara berbuat baik dan menghindarkan perbuatan-perbuatan buruk. Sehingga cermin yang di dalamnya merupakan pantulan tajali atau bayangan Allah Swt. menjadi bening dan kita bisa melihat keindahan Allah Swt. di dalam hati kita.
Ingatlah Tuhan sebanyak-banyaknya hingga kau terlupakan.
Penggalan puisi ini mengajak kita untuk mengingat Allah Swt. hingga ego kita terlupakan. Jika kita sudah bisa memusnahkan ego kita, maka yang tinggal adalah Allah Swt. Itulah yang disebut sebagai lebur di dalam Allah Swt.
Biarkan penyeru dan Yang Diseru musnah dalam Seruan.
Menurut Haidar Bagir, penggalan puisi ini yang dimaksud sebagai ittihâd, yaitu penyatuan antara hamba dan Allah Swt. Hal ini bukan berarti hamba menjadi tuhan. Akan tetapi, hamba yang lemah, hamba yang faqir tercerab dalam Allah Swt. Yang Maha Kaya. Itulah yang dimaksud dengan kembalinya manusia yang berasal dari Allah Swt. kepada Allah Swt. lagi.
Begitulah makna yang coba digali oleh Haidar Bagir dalam salah satu penggalan puisi karya Rumi yang berjudul “Sirnalah dalam seruan” ini. Begitu luas dan dalam penggambaran hubungan manusia, Tuhan, dan alam semesta. Tiga hal yang saling erat berkaitan dan tidak bisa dilepaskan satu sama lain. Hal ini menjadi suatu pembelajaran bagi kita sebagai manusia dalam menggunakan cara pandang kita melihat alam semesta dan hakikat Allah Swt. sebagai Sang Pencipta.
Dapatkan buku Belajar Hidup dari Rumi karya Haidar Bagir di Mizanstore Official!