Oleh Hanna Ernestha Ramadhani
“Firma penyedia pengawal pribadi dan jasa keamanan bisa sejahtera bukan dengan menyewakan pakar keamanan terhebat di dunia melainkan teroris terburuk di dunia. Itulah kapitalisme.”
–The Plotters, hlm. 245-246
Membaca tentang pembunuh yang menghabisi nyawa korbannya dengan sadis lalu melarikan diri mungkin sudah umum ditemukan dalam genre novel thriller, seperti The Good Son karangan You-Jeong Jeong. Namun, bagaimana dengan cerita tentang pembunuh bayaran yang bercengkerama, mendengarkan petuah serta nasihat, hingga menginap di rumah sang calon korban sebelum membunuh dan menghilangkan jejaknya?
Jenis pembunuhan seperti itulah yang ditawarkan penulis Un Su Kim bagi penikmat novel genre serupa. Alih-alih penuh teka-teki seperti tipikal novel pembunuhan berantai, pembaca akan dihadapkan pada kenyataan pahit tentang betapa jauh manusia bisa bertindak sadis terhadap satu sama lain lewat transaksi pembunuh bayaran yang dipayungi oleh “firma-firma” tertentu. Uniknya, di tengah-tengah suatu situasi ketika pembunuhan dilancarkan oleh Reseng si pembunuh bayaran didikan Rakun Tua—yang juga adalah tokoh utama—pembaca juga akan diajak berpikir dan merenung tentang kemanusiaan, beserta sisi gelap dan terangnya.
Dalam novel ini, akan terungkap bagaimana nyawa sudah selayaknya barang dagangan dari pasar gelap, diperjualbelikan begitu saja melalui tangan para perencana—The Plotters—dan pembunuh bayaran, mulai dari amatir hingga pembunuh kelas atas yang dapat bekerja dengan “bersih”. Siapa pun orangnya, jika membayarkan sejumlah uang yang dipersyaratkan dapat menyewa seorang perencana andal yang akan mengikuti gerak-gerik target pembunuhan mereka, mencari data, hingga membuat plot untuk dijabarkan kepada pembunuh bayaran yang bertugas mengeksekusi.
Pembaca akan diajak merenungi sisi gelap yang selama ini ada, tetapi seolah terkubur dan terabaikan, bahwa pasar daging—sebutan tempat untuk tempat para perencana, pembunuh bayaran, muncikari, pedagang senjata ilegal, pengedar narkoba, dan bisnis-bisnis gelap lainnya berkumpul—itu tidak dapat dimungkiri memang ada di tengah-tengah kita. Bahkan, tidak jarang orang yang seharusnya bertugas untuk mencegah adanya praktik-praktik semacam itu adalah mereka-mereka yang juga menciptakan dan menjadi pencetus permasalahan tersebut.
Hal ini mengajak para pembaca untuk berpikir ulang tentang bagaimana dunia yang dipandang indah oleh beberapa orang, adalah neraka bagi mereka yang bernasib kurang beruntung dan sehari-hari bersinggungan dengan pasar daging. Seperti Reseng, yang disebut-sebut lahir di tempat sampah dan masuk ke panti asuhan tempat dia kemudian diadopsi oleh seorang pria yang dipanggil Rakun Tua, orang yang menghasilkan banyak pembunuh bayaran andal. Saat dewasa, Reseng yang tumbuh tanpa cinta dan perlindungan orangtua pun turut menjadi salah satu pembunuh bayaran yang loyal terhadap Rakun Tua.
Namun, meski digambarkan sebagai pembunuh bayaran yang cukup berpengalaman dan berdarah dingin, sisi kemanusiaan Reseng tetap ditunjukkan dalam novel—yang justru menjadi kelemahan yang menyulitkan pekerjaannya di kemudian hari. Digambarkan pula apa yang Reseng rasakan setiap pulang ke rumah setelah membunuh orang, yang mungkin bisa dikaitkan dengan perasaan bersalah. Reseng juga memelihara dua ekor kucing dan merawatnya dengan baik, sebuah gambaran betapa seorang pembunuh pun tidak dapat hidup kesepian dan membutuhkan teman.
Di dalam novel setebal 409 halaman ini juga dikisahkan seorang mantan otak pembunuhan massal yang menceritakan kisah bijak yang menggugah hati. Sementara itu, seorang wanita cantik tunasusila yang diburu oleh pembunuh bayaran pejabat, lebih memikirkan bagaimana penampilannya setelah mati dibandingkan nyawanya sendiri—menjadi semacam alegori betapa dia masih sangat mempunyai harga diri dan ingin tampil sesuai keinginannya saat sudah menjadi jasad. Wanita itu pun diizinkan untuk berdandan serta memilih metode kematiannya sendiri oleh pembunuhnya.
Buku ini seakan menjadi wahana baru dalam penjelajahan sisi gelap dunia yang disesaki pembunuhan, ketika nyawa dibayar nyawa, dan kesulitan hidup tiada akhir yang membuat orang mampu berbuat nekat—disisipi oleh pesan-pesan kemanusiaan yang halus dan tanpa menggurui, tetapi tepat sasaran ketika pembaca berhasil menafsirkannya.
Referensi:
Kim, U. S., (2020). The Plotters. Jakarta Selatan: Penerbit Noura Books.