Pelatih Liverpool, Juergen Klopp memasuki ruangan konferensi pers dengan gestur muka tidak seceria biasanya. Tim asuhannya baru saja kalah 0-2 dari Chelsea, di Stamford Bridge Stadium, London, Selasa (3/3/2020).Tidak tampak raut senyum mengembang di wajahnya.
Namun, ia tetap menjawab pertanyaan-pertanyaan para jurnalis dengan tenang. Tidak terlihat raut wajah kesal meskipun Liverpool baru saja kalah. Menjelang akhir sesi konferensi pers, salah seorang jurnalis bertanya apakah Klopp khawatir penyebaran virus corona akan mengganggu skuad Liverpool. Raut mukanya dalam sekejap berubah. Dahinya mengerut dan tatapan matanya lebih tajam. “Dengar, apa yang saya tidak suka ialah ketika pendapat manajer tim sepak bola dianggap begitu penting. Saya tidak mengerti, tidak begitu mengerti. Peran Anda sama seperti saya, jadi tidak penting apa kata orang terkenal,” jawabnya.
(Baca juga: Memahami Konsep Sabar dan Ridha ala Ustadz Zaki Mubarak)
Si jurnalis berusaha mengklarifikasi pertanyaannya, tetapi Klopp enggan memberi kesempatan. Ia terus melanjutkan jawabannya. “Kita harus membahas sesuatu dengan cara yang tepat. Jangan orang awam seperti saya membahas hal ini, tapi orang yang ahli yang seharusnya menjawab dan memberitahu orang lain apa yang harus dilakukan dan apakah semuanya akan baik-baik saja. Bukan manajer tim sepak bola. Saya tak mengerti ini,” tegasnya.
“Politik, virus corona, kenapa saya (yang harus menjawab)? Saya hanya seseorang bertopi bisbol dan tak bisa bercukur dengan benar. Saya juga khawatir seperti semua orang lain. Saya tinggal di planet ini dan ingin semuanya aman dan sehat, saya mendoakan semua orang yang terbaik, tentu saja. Namun, opini saya tentang virus corona tak penting,” lanjutnya.
Respons Klopp tersebut bisa jadi adalah kegusaran terhadap fenomena yang marak dari hari ke hari. Orang-orang berlomba-lomba mengomentari suatu isu yang muncul, seakan-akan ia menguasai isu tersebut. Media sebagai forum publik pun tak ketinggalan mengeksploitasi fenomena ini. Masalahnya, media sebagai alat pencerdasan publik mengutamakan kredo “ucapan orang terkenal ialah informasi berharga”. Dibanding sibuk menggali informasi secara mendalam berdasarkan kaidah yang objektif, media sibuk menugaskan jurnalisnya mengejar komentar orang-orang terkenal terhadap isu-isu yang muncul. Akibatnya informasi-informasi menyesatkan yang keluar dari mulut orang-orang terkenal berserakan di mana-mana.
Orang-orang berlomba-lomba mengomentari suatu isu yang muncul, seakan-akan ia menguasai isu tersebut.
Ada sebuah kisah singkat yang cocok menggambarkan fenomena di atas.Ustadz Muhammad Zaki Mubarak dalam bukunya Sabar dan Ridha, mengutip kitab Al-Mujâlasah wa Jawâhirul ‘Ilm, “Seorang kuli yang sedang memikul gentong segera menaruh gentongnya ketika melihat Imam Asy-Sya’bi, lalu bertanya, ‘Siapa nama istri Iblis?’ ‘Wah, saya tak diundang ke pernikahannya,’ jawabnya.”
Arti dari hikmah tersebut ialah, menanyakan sesuatu yang kalau kita menjadi tahu tak ada manfaatnya dan kita tak tahu juga tak ada mudaratnya, adalah buang-buang waktu. Lagipula, benar apa kata Klopp, jangan tanyakan pendapat orang terkenal yang awam, tapi tanyakanlah pendapat ahli. Toh, tidak penting juga,bukan, mendengar pendapat orang terkenal yang awam?
Banyak fenomena gejolak yang marak selama era informasi ini, tidak hanya fenomena di atas. Paling terlihat tentu fenomena “perang” di media sosial, apalagi menyangkut pilihan politik. Jika pertarungan politik dahulu berada pada tataran ideologi, kini perpecahan timbul pada pilihan figur. Seakan-akan figur-figur di kelompok A merepresentasikan kebaikan sedangkan figur-figur kelompok B merepresentasikan keburukan, dan begitu pula sebaliknya.
Jika pertarungan politik dahulu berada pada tataran ideologi, kini perpecahan timbul pada pilihan figur.
Masalahnya, semakin berkembangnya teknologi informasi, maka “perang” politik ini memanfaatkan pula medium publik yaitu media sosial. Sebelum era media sosial, masih ada media yang punya tanggung jawab sebagai “penjaga gawang”, menyaring konten-konten yang patut disebarluaskan ke publik. Sekarang dengan adanya media sosial, maka warga atau pengguna media sosial itu sendiri yang memikul tanggung jawab itu untuk dirinya sendiri.
Maka, pilihannya kembali ke diri kita masing-masing. Apa yang ingin kita tampilkan melalui media sosial kita? Di tengah fenomena “perang” di media sosial, Ustadz Zaki menggunakan akun Twitter-nya @zaki_elqattamy untuk membagikan ayat-ayat Al-Quran, hadis, serta pesan dari para sufi dan ulama klasik. Twit-nya pun sejuk dan berguna sebagai cerminuntuk mawas diri. Di tengah tandusnya media sosial karena dipenuhi pertarungan politik, maka twit Ustadz Zaki bagaikan oase yang menyejukkan. Tak heran jika jumlah pengikut akunnya mencapai puluhan ribu, menandakan animo yang besar terhadap twit-nya.
Buku ini sederhananya terdiri dari kumpulan twit Ustadz Zaki. Tapi, kumpulan twit ini kemudian diklaster per tema. Tema-tema tersebut antara lain: Keutamaan Ilmu dan Hikmah; Pengabdian Hamba kepada Allah; Akhlak yang Mulia; Tobat dan Mengingat Kematian; Zuhud; Harap dan Takut; Tawadhu; Sabar dan Ridha; Syukur; Ikhlas; dan Kasih Sayang Allah. Di tengah kondisi sulit akibat wabah virus corona saat ini, maka lebih baik kita hentikan aktivitas waktu luang dengan bermain media sosial, dan bacalah buku ini.