Deskripsi
“KPIPA’s Best National Book”
“The 31th Shin Dong-Yup Prize for Literature”
“Today’s Young Artist Award for Literature”
“Telah terjual lebih dari 100.000 eksemplar dalam 6 bulan di Korea”
Mungkin hal yang paling kurindukan bukanlah dirimu yang dulu kucintai, melainkan aku yang dulu mencintaimu sepenuh hati.
Tentang Park Joon
Park Joon lahir di Seoul pada tahun 1983 dan debut pada 2008 melalui Silcheon Munhak. Dia juga membuat buku kumpulan puisi berjudul I Took Your Name as Medicine. Park Joon pernah meraih penghargaan “The 31th Sin Dong-Yup Prize for Literature” dan “Today’s Young Artist Award” kategori Literatur tahun 2017.
Keunggulan Buku
– KPIPA’s Best National Book 2017
– The 31th Shin Dong-Yup Prize for Literature 2013
– Today’s Young Artist Award for Literature 2017 dari Kementerian Budaya, Olahraga dan Pariwisata Korea
– Telah terjual lebih dari 100.000 eksemplar dalam 6 bulan di Korea
– Peringkat ke-2 buku bestseller Yes24 pada Desember 2017 minggu pertama
– Sempat muncul di drama tvN berjudul Because This Is My First Life.
Resensi
Penyair Park Joon merilis koleksi prosa pertamanya, Crying Doesn’t Change a Thing, yang memiliki judul yang sama panjangnya dengan buku koleksi puisinya yang pertama, I Fed Myself With Your Name, setelah persiapan yang sangat lama. Buku ini, dengan judul yang mampu dengan lembut menggoyahkan pikiran seseorang dan sampul yang menunjukkan sepasang kekasih tanpa wajah, yang menunjukkan bagian terdalam dari kisah Park Joon sebagai penyair dan sebagai seseorang yang terkadang menyukai puisi, tetapi terkadang juga menyukai prosa.
Buku ini adalah perwujudan dari penggabungan keindahan puisi dan prosa yang bisa dibaca sebagai koleksi puisi pada satu hari dan koleksi prosa pada hari lain. Dalam koleksi ini, khususnya, momen-momen kenangan akan dibangkitkan oleh observasi Park Joon yang hati-hati sekaligus gigih, yang pada akhirnya akan berhasil membuat kita meneteskan air mata.
“Semakin sering aku menikmati pemandangan mata-hari terbit dan terbenam, semakin aku melihat kemiripan di antara kedua peristiwa tersebut. Seperti wajahmu yang teramat cerah tanpa perlu sengaja tersenyum dan wajahku yang teramat bersinar tanpa perlu disembunyikan. Atau seperti kata “halo” saat bertemu dan “selamat tinggal” saat berpisah.
Sampul buku Crying Doesn’t Change a Thing sangat misterius. Seorang gadis yang mendayung perahu selagi sang lelaki memainkan harmonica, semua fitur wajah mereka dihilangkan. Mengapa mata mereka dihapus, juga hidung dan bibir mereka? Sama halnya dengan mengapa air mata menggenang di mata, hidung penuh ingus, dan sebuah lagu seolah disenandungkan dari sela bibir?
Mungkin saja mereka adalah adik kakak yang menyedihkan karena wajah mereka bersimbah air mata. Mungkin mereka sepasang kekasih yang akan berpisah karena wajah mereka bersimbah air mata. Mungkin mereka pasangan yang tengah menghadapi kematian karena wajah mereka bersimbah air mata. Sebagai seseorang yang sekadar menginterpretasikan begitu banyak kisah dari sebuah gambar saja, kesedihan yang tertumpah dari mata, hidung, dan bibir itu amat terasa. Jadi, selagi kau berjalan melewati rak buku, liriklah buku ini. Sebagai informasi, gambar di sampul adalah karya seorang pelukis Israel, Gideon Rubin, yang kini aktif di U.K.
Crying Doesn’t Change a Thing adalah tulisan yang berasal dari seorang pria, sekaligus seorang penyair, Park Joon. Mengingat tidak ada kalimat yang dituliskan asal tanpa arti, setiap kata yang dia goreskan terasa begitu intim dan dekat karena berasal dari hatinya sendiri.
Park Jun lahir pada tahun 1983 di Seoul. Pada 2008, dia debut lewat Practical Literature. Joon pernah berkata, “Menerima surat adalah bukti bahwa kita dicintai, dan menuliskannya adalah bukti bahwa kita mampu mencintai.” Mungkin koleksi prosa ini merupakan kemiripan yang tak terdefinisikan dari sebuah surat. Ketika seseorang dipaksa untuk menulis, hanya kalimat-kalimat harfiah tanpa maknalah yang akan dia hasilkan. Namun, ketika seseorang menulis atas keinginannya sendiri, orang yang menggenggam pena dengan tangannya itu akan menumpahkan kisahnya dengan energi yang tidak terbatas.
Meski buku ini terdiri dari empat volume, kita bisa membuka halaman mana pun yang kita inginkan dan setiap bagian kisah masih akan terhubung secara sistematis.
Park Joon menguak memori-memori masa lalu dan menceritakan kisah-kisah di sekelilingnya dalam nuansa yang tenang dan bahasa yang ringan dan halus. Kisah tentang kematian, kemiskinan, hubungan, cinta, dan perpisahan yang dia bagikan, menunjukan fakta bahwa kehidupan entah bagaimana dijalani dengan membuat seseorang menangis dan tertawa. Seperti yang Park Joon katakan dalam barisan judul pada sampul bukunya, bahwa menangis tidak akan mengubah apa-apa, tetapi jika seseorang menangis seperti yang dia lakukan, mungkin semuanya akan terasa sedikit lebih baik.
Sumber:
“Although Crying Would Not Change Anything” written by PARK Jun “운다고 달라지는 일은 아무 것도 없겠지만” 박준 작가
NUKILAN BUKU
“KATA APA PUN TAK AKAN LENYAP”
Aku memiliki kebiasaan berusaha mengingat setidaknya satu kalimat ketika berbicara dengan orang lain. “Tolong ambilkan air panas!” adalah kalimat terakhir yang diucap-kan Kakek, dan “Sampai bertemu di restoran Cina waktu itu!” adalah kalimat terakhir yang diucapkan novelis vete-ran kesukaanku. Sayangnya, aku tidak bisa menemui mereka ketika wafat, sehingga kata-kata itu menjadi wasiat yang mereka tinggalkan untukku.
Ada banyak perkataan yang kuingat dan bukan hanya kata-kata orang yang wafat terlebih dahulu. “Lain kali kita bertemu di Jongno, tempat favoritmu,” adalah kalimat yang dilontarkan mantan kekasihku, yang sudah lama putus, di sebuah jalan di daerah Bundang. Sedangkan, “Belakangan ini tidak ada film menarik di Chungmuro,” adalah kalimat terakhir yang dilontarkan rekan kerja lamaku.
Kini, aku tidak akan bertemu mereka lagi. Meski kami tidak sengaja bertemu di jalan, meski kata apa pun tidak akan mati, mungkin aku hanya akan menyapa singkat dan kembali menjauh. Maka, kata-kataku pun akan menjadi wasiat bagi mereka.
Aku percaya bahwa kalimat yang tanpa sengaja kulontarkan kepada orang lain bisa saja menjadi wasiat bagi mereka. Oleh karena itu, aku berusaha mengucapkan sesuatu yang hangat dan indah, meski aku hanya mengulang sesuatu yang pernah kuucapkan sebelumnya.
Namun, itu bukan hal mudah. Saat rapat pagi hari ini saja aku sudah menggunakan bahasa perang dengan santai, yang sebenarnya memiliki arti mengerikan, seperti “strategi” dan “pemusnahan”. Kemudian, pada siang hari aku tidak sengaja bertemu teman di sebuah restoran dan melontarkan sapaan klise, “Kapan-kapan kita makan ber-sama, ya!” Sedangkan, pada malam hari aku sendirian sehingga tidak memiliki kesempatan berbicara dengan orang lain.
Perkataan lahir dari mulut manusia dan mati di telinga manusia. Namun, kata apa pun tak akan lenyap. Ia meresap ke dalam hati dan menetap di sana.
Walau tidak terbiasa mengingat ucapan orang lain seperti yang kulakukan, kebanyakan orang memendam cukup banyak perkataan dalam hati masing-masing. Sebuah kata dapat terasa menakutkan, sedangkan kata lainnya dapat terasa menyenangkan. Sebuah kata masih terasa menyakitkan dan kata lainnya tetap terasa mendebarkan.
Bagai surat wasiat yang penuh terisi huruf-huruf berwarna hitam, malam ini aku teringat akan hatimu yang dipenuhi banyak wasiat.