Search
Close this search box.

Memahami Konsep Sabar dan Ridha ala Ustadz Zaki Mubarak

Ditulis oleh ,

Yuk, bagikan artikel ini!

Bekas kepala ilmuwan Xerox, John Seely Brown menulis dalam bukunyaThe Social Life of Informationtentang perkembangan era informasi: “Informasi dunia bertambah dua kali lipat setiap hari. Namun tanpa kita sadari, pada saat yang sama kearifan kita berkurang setengahnya.”

Buku itu sendiri terbit pada tahun 2000 saat teknologi informasi berkembang pesat-pesatnya. Tetapi saat itu belum ada media sosial seperti Facebook, Twitter, ataupun WhatsApp, meskipun grup milis menjamur di mana-mana.  Kemudian 20 tahun berselang, ketika kita mendapati berita seperti tarung fisik gara-gara berdebat soal pilihan politik di media sosial maupun penyebaran hoax, maka mungkin kita baru merasakan peringatan Brown tidaklah main-main.

Di tengah gejolak yang ditimbulkan dampak negatif media sosial, Muhammad Zaki Mubarak, seorang dai dari Kalimantan Selatan yang juga akrab disapa Ustadz Zaki tidak tinggal diam. Bagaikan eceng gondok yang tumbuh untuk menjernihkan perairan keruh, Ustadz Zaki turut aktif di media sosial untuk menyebarluaskan hikmah para ulama.

“Seringkali kita saksikan di medsos, orang-orang kehilangan kearifannya. Tak lagi menyaring berita, menyebarkan fitnah, hoax, adu domba yang memicu perselisihan, pertengkaran, dan sebagainya,” ujarnya saat sesi Instagram Live pada Minggu (26/4/2020).

(Baca juga: Muhasabah di Tengah Wabah dengan Buku #HidupKadangBegitu)

Ia sendiri pertama kali aktif di Twitter pada tahun 2017.Kini jumlah pengikut akunnya @zaki_elqattamy sudah mencapai sekitar 31 ribu akun. Motifnya aktif bersosialisasi di Twitter ialah, “hanya ingin berbagi ilmu, biar apa yang saya baca tidak berhenti di saya, tapi menyebar luas manfaatnya.”Melalui Twitter, ia berharap audiensnya jauh lebih luas daripada forum keagamaan yang ia isi.

“Kalau apa yang saya baca cuma disampaikan di majelis-majelis taklim, masjid, pesantren-pesantren, yang pendengarnya cukup terbatas,  tapi alhamdulillah sekarang Allah memberi kemudahan berupa teknologi informasi sedemikian canggih, mengapa tidak kita gunakan agar pesan itu lebih cepat menyebar luas,” jelasnya.

Mengutip perkataan Rasulullah Saw., Ustadz Zaki menyebut jika sedekah ilmu termasuk dalam tiga jenis amalan yang pahalanya mengalir terus walaupun yang menyedekahkan telah tiada.

“Kalau sedekah harta, harta saya terbatas. Kalau sedekah ilmu tidak terbatas dan manfaatnya tidak hanya di dunia tapi juga akhirat. Jadi dengan kita nge-twit nasihat-nasihat baik kita sudah sedekah, (dan) luar biasa manfaatnya. Selama ilmu itu diamalkan banyak orang, selama itu pula pahalanya mengalir ke kita,” jelasnya.

(Baca juga: Memilih Cinta Sebagai Juru Bicara (Agama) Islam)

Cuitan-cuitannya pun mendapat antusias yang besar dari publik di Twitter. Besarnya antusias terhadap cuitannya, kemudian ia manfaatkan untuk jadikan sebuah buku berjudul Sabar dan Ridha. Meskipun terdapat beberapa tema lain dalam cuitannya, tetapi tema Sabar dan Ridha itu yang dipilih menjadi judul buku.

“Judul diambil dari salah satu judul bab buku yang saya susun, mungkin karena tema besarnya itu. Kenapa? Karena sabar (itu) induk dari akhlak mulia. Hampir semua akhlak mulia adalah buah dari pohon kesabaran,” jelasnya.

“Pemaaf adalah buah dari sabar, sabar saat kita emosi. Berani adalah buah dari sabar, sabar saat menghadapi musuh (dan) ancaman,” lanjutnya sambil mencontohkan.

Sedangkan ridha dalam ilmu tasawuf menurutnya lebih tinggi posisinya dibanding sabar. Ridha adalah buah dari kecintaan terhadap Allah, meski ujian silih berganti menghampiri hamba-Nya.

Berani adalah buah dari sabar, sabar saat menghadapi musuh (dan) ancaman.

“Sabar menurut ulama, kalau diumpamakan menelan kepahitan tanpa bermasam muka. Tapi kalau mampu tersenyum kita berada di maqam ridha. Kenapa tersenyum, karena yang memahitkan adalah Allah yang mencintai kita,” jelasnya.

Ia mencontohkan praktik sabar dan ridha layaknya hubungan antara pasien yang ingin mencabut gigi dengan dokter gigi. Meskipun cabut gigi mendatangkan rasa sakit, tetapi si pasien tidak lantas membenci sang dokter.

“Kita pasti pernah cabut gigi ke dokter, betapa sakitnya gigi dicabut, tapi ada perasaan benci di hati enggak kepada dokter? Kalau akal sudah cerdas,enggak mungkin kita benci ke dokter, walaupun ia menyakitkan kita,” jelasnya.

Manusia dalam hidupnya memerlukan dua sifat ini untuk menghadapi dunia yang dipenuhi dengan cobaan. Siapapun dia, tidak ada manusia yang dapat terlepas dari cobaan-Nya.

“Namanya juga kita hidup dalam dunia darul bala’ atau tempat cobaan ini. Siapapun orangnya, selama hidupnya tak mungkin tak mengalami cobaan. Jangankan kita, Allah saja sangat cinta pada para nabinya, tapi mereka juga mengalami cobaan bahkan lebih berat dari kita,” ujarnya.

Siapapun dia, tidak ada manusia yang dapat terlepas dari cobaan-Nya.

“Makanya dalam buku yang saya susun salah satu yang saya cantumkan (bahwa) hal yang paling sia-sia dalam hidup ini ialah mencari sesuatu yang tidak ada, lelah tanpa hasil apa-apa,” lanjutnya.

Cobaan tidak hanya dijumpai di balik musibah. Nikmat pun ternyata juga dapat mendatangkan cobaan bagi hamba-Nya.

“Bahkan cobaan itu bukan hanya berada di balik musibah, tetapi juga nikmat. Sebagaimana dalam Al-Quran, (Allah) telah berfirman di Surah Al-Anbiya ayat 35,” jelasnya.

Ia mengakui, tidak sedemikian mudah mempraktikkan sabar dan ridha. Tetapi keduanya akan terasa mudah jika dipraktikkan terus-menerus.

Sabar dan ridha menurut yang saya baca dalam kitab-kitab ulama adalah sebuah seni, seni dalam hidup yang siapapun mempelajarinya, mempraktikkannya, kalau dilatih akan diberi kemudahan oleh Allah,” ujarnya.

Ia mencontohkan praktik sabar dan ridha seperti, “Ibarat nyetir mobil, saat belajar akan terasa sulit, tapi setelah tahu teori dan sering latihan, insyaAllah menyetir itu bukan sesuatu yang sulit, tetapi mudah dan menyenangkan.”

Selain terus-menerus dipraktikkan, manusia juga perlu menggunakan akalnya dengan menambah ilmu untuk memahami sabar dan ridha itu sendiri. Ilmu tersebut salah satunya berasal dari kumpulan hikmah para ulama.

“Asal jangan kita putus asa, semangat menambah ilmu, melatihnya dalam kehidupan kita. Dan insya Allah, teori-teorinya itu akan kita dapati lewat kita membaca hikmah, nasihat-nasihat, wejangan-wejangan para ulama dalam buku yang saya susun,” ujarnya.

Mengutip Imam Ghazali, menurutnya terdapat dua sisi yang bertolak belakang, yakni dorongan akal dan nafsu. Manusia dituntut mampu menggunakan agar tidak terjerumus oleh nafsu yang berlebihan.

“Imam Ghazali r.a. menyebut dalam diri manusia ada dua dorongan yang hampir setiap saat selalu bertolak belakang, (yaitu) dorongan akal dan nafsu. Contoh pas kita lagi jengkel, akal kita menyuruh supaya sabar, di sisi lain nafsu kita menyuruh sumpah serapah, kata-kata kotor, memukul, dan sebagainya,” jelasnya.

“Imam Al-Ghazali mendefinisikan sabar ketika akal berhasil mengalahkan dorongan nafsu. Timbul pertanyaan, bagaimana caranya agar akal kita mudah mengalahkan nafsu? Kuatkan akal dengan iman dan ilmu agama,” lanjutnya.

Allah sendiri telah memberi bekal iman pada hamba-Nya. Tinggal manusia yang dituntut untuk terus menuntut ilmu agar dapat mencerdaskan akal melawan pengaruh nafsu. Menurutnya, semangat menuntut ilmu seharusnya, “Seperti yang dikatakan Imam Asy-Syafi’i, ‘Carilah hikmah seperti ibu yang kehilangan anak satu-satunya.’ Bagaimana semangat ibu ketika kehilangan buah hati satu-satunya, seperti itu hendaklah semangat kita mencari ilmu dan hikmah.”